KatoKito
Modus Perdagangan Orang Kian Canggih, Komnas Perempuan Minta Negara Perkuat Kebijakan
JAKARTA, WongKito.co - Dalam rangka memperingati Hari Internasional Menentang Perdagangan Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak negara memperkuat kebijakan dan layanan yang responsif, adaptif, dan berpusat pada korban perdagangan orang.
Mengingat bahwa bentuk, modus dan tujuan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terus berkembang, semakin kompleks, dan tidak selalu dikenali. Perkembangan modus, tujuan, dan cara kerja TPPO kian sulit dikenali karena terus bertransformasi, termasuk melalui teknologi digital.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020–2024 mencatat sedikitnya 267 kasus TPPO yang melibatkan perempuan sebagai korban, mencakup berbagai bentuk eksploitasi, seperti kerja paksa, eksploitasi seksual, penjualan organ, pengantin pesanan, hingga perekrutan sebagai kurir narkotika lintas negara.
Dalam dua tahun terakhir, muncul modus baru yang memanfaatkan teknologi digital, seperti pemaksaan menjadi operator judi daring dan pelaku penipuan online (scammer). Perempuan kerap direkrut melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan situs lowongan kerja palsu.
- Blokir Rekening Dormant Berpotensi Ganggu Perencanaan Keuangan
- Tips Memilih Perguruan Tinggi Swasta yang Tepat
- BLIZER, UMKM Sepatu yang Kini Catat Kenaikan Penjualan hingga 90 Persen, Simak Cerita Perjalanannya
Data pemantauan Komnas Perempuan juga menunjukkan adanya interseksi antara TPPO dan penyelundupan narkotika lintas negara, serta keterkaitannya dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Seluruh pengalaman ini memperlihatkan bahwa TPPO tidak bisa dilepaskan dari konteks ketimpangan relasi kuasa, kemiskinan struktural, dan diskriminasi berbasis gender yang memperbesar kerentanan perempuan terhadap eksploitasi lintas batas.
“Perdagangan orang, termasuk perempuan, semakin tersembunyi di balik wajah baru eksploitasi digital dan lintas negara. Negara tidak boleh abai. Respons harus adaptif terhadap modus, tujuan dan pola baru TPPO, serta harus berpihak pada korban, dibangun melalui pengalaman nyata perempuan yang tereksploitasi,” tegas Komisioner Yuni Asriyanti
Komnas Perempuan menyoroti masih terjadinya praktik kriminalisasi terhadap korban TPPO. Banyak perempuan korban justru dipermasalahkan dokumennya, dideportasi, atau dikriminalisasi akibat situasi eksploitasi yang dialaminya.
Padahal, Prinsip Non-Pemidanaan terhadap Korban TPPO (The Principle of Non-Punishment of Victims of Trafficking in Persons) yang tertera dalam berbagai instrumen HAM internasional, termasuk Konvensi ASEAN, menegaskan bahwa negara wajib melindungi korban, bukan menghukumnya.
“Kriminalisasi terhadap korban perdagangan orang adalah bentuk kekerasan lanjutan. Negara seharusnya menjadi pelindung, bukan justru memperparah luka korban melalui pemidanaan atau deportasi,” tegas Komisioner Devi Rahayu.
Komnas Perempuan mengingatkan General Recommendation No. 38 dari Komite CEDAW, yang menegaskan bahwa TPPO harus dipahami dalam kerangka keadilan gender, sebagai bagian dari ketimpangan struktural dan kekerasan terhadap perempuan.
Negara wajib mencegah TPPO melalui regulasi pasar kerja, perlindungan sosial, pendidikan, literasi digital, serta menjamin pemulihan yang bermartabat tanpa diskriminasi, termasuk bagi korban yang tidak berdokumen. Pendekatan penanganan TPPO harus berbasis pengalaman korban, partisipatif, serta tidak hanya fokus pada penindakan pelaku. Komnas Perempuan juga mendorong pemulihan korban harus menekankan pada pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif.
- Pameran GIIAS 2025, BMW Indonesia Hadirkan SUV Listrik Premium
- Kenalkan Kartu Perdana Terbaru, Telkomsel Selenggarakan Undian SIMPATI HOKI
- Data Pribadi RI Akan Ditransfer ke AS, Simak 12 Cara Lindungi Privasimu
Komisioner Irwan Setiawan, Ketua Gugus Kerja Perempuan Pekerja Komnas Perempuan, menegaskan, sudah saatnya dilakukan pengkajian ulang terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, agar mampu merespons perkembangan modus, tujuan, dan cara kerja perdagangan orang yang semakin kompleks dan tidak konvensional.
“Negara perlu bergeser dari pendekatan semata represif ke arah kebijakan pencegahan dan pemulihan yang komprehensif termasuk pembaruan UU TPPO agar selaras dengan dinamika eksploitasi yang semakin canggih dan tak konvensional,” pungkasnya. (*)