Olahraga Jadi Cara Baru Anak Muda Bersosialisasi

Ilustrasi. Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Pekerja PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit III Plaju. (Ist)

JAKARTA, WongKito.co – Selain makan malam dan menonton film, nongkrong sambil ngopi di akhir pekan, atau pergi keluar malam sesekali, ada cara lain yang kini semakin populer untuk menjalin pertemanan.

Survei terbaru menunjukkan generasi Milenial dan Gen Z mulai memanfaatkan klub lari, kelas olahraga, dan berbagai kegiatan kelompok lainnya sebagai tempat baru untuk membangun koneksi sosial.

Menurut Year In Sport: Trend Report tahunan dari Strava, yang menganalisis data dari lebih 135 juta orang di 190 negara, partisipasi dalam klub lari meningkat sebesar 59% dibanding tahun sebelumnya.

Laporan tersebut menunjukkan orang-orang memanfaatkan olahraga tidak hanya untuk kebugaran, tetapi juga untuk bersosialisasi, dengan 58% peserta mengaku mendapat teman baru melalui kelompok kebugaran.

Dari responden Gen Z, hampir satu dari lima pernah berkencan dengan seseorang yang ditemui melalui olahraga, dan mereka empat kali lebih mungkin ingin bertemu orang baru melalui olahraga dibandingkan di bar.

Dilansir dari Women’s Health, Gen Z juga empat kali lebih cenderung ingin bertemu orang melalui olahraga dibandingkan di bar atau klub. Jaringan sosial yang dulu terjalin di lantai dansa kini terbentuk melalui lari pagi sebelum subuh dan brunch setelah berlari.

Tampaknya ikatan sosial tersebut juga berdampak pada kualitas olahraga, karena rata-rata durasi aktivitas (lari, bersepeda, atau mendaki) meningkat 40% saat dilakukan dalam kelompok lebih dari 10 orang dibandingkan saat berolahraga sendiri.

Secara umum, tren menggabungkan aktivitas santai, seperti bersosialisasi dengan olahraga menunjukkan preferensi yang lebih luas terhadap pendekatan olahraga yang lebih moderat.

Para peserta memilih sesi latihan yang lebih pendek dan hari istirahat selama persiapan maraton, menghindari cara-cara ekstrem demi pendekatan yang lebih berkelanjutan dan mempertimbangkan kesehatan mental.

“Anak muda kini menjadikan olahraga sebagai cara untuk terhubung dan bersosialisasi. Olahraga bukan lagi tentang pembakaran kalori semata, tetapi tentang koneksi sosial dan keseimbangan hidup,” ungkap Chief Business Officer Strava, Zipporah Allen.

Tren olahraga malam hari juga mencerminkan perubahan cara anak muda bersosialisasi. Dulu, pertemuan sosial biasanya terjadi di klub malam atau kafe, tapi sekarang banyak yang lebih memilih studio olahraga atau pusat kebugaran sebagai tempat bertemu di malam hari.

“Ini menunjukkan bahwa olahraga kini bukan tentang ekstremitas, tapi tentang keseimbangan. Generasi muda ingin tetap aktif, tetapi juga bahagia,” paparnya.

Sementara, data dari Strava mengungkapkan generasi muda lebih menyukai olahraga yang singkat dan berintensitas ringan. Sekitar satu dari lima sesi latihan berlangsung kurang dari 20 menit, dan setengah peserta maraton kini menambahkan hari istirahat untuk menjaga keseimbangan hidup.

Dilansir dari Scott Millar, Gen Z secara resmi menukar klub malam dengan klub lari. Minuman Amaretto kini digantikan dengan mangkuk acai.

Gaun dan sepatu hak tinggi diganti dengan pakaian olahraga dan sepatu Hoka. Ini bukan sekadar tren kesehatan, tapi perubahan generasi yang mengubah cara anak muda menghabiskan waktu, uang, dan energi sosial mereka.

Di sisi lain, Gen Z mulai menemukan cara baru untuk mengisi akhir pekan mereka yang sehat, sosial, dan terjangkau.

Solusinya yaitu klub lari. Bagi banyak anak muda Australia, kegiatan sederhana ini menawarkan kombinasi sempurna antara olahraga, persahabatan, dan makna. Ini menjadi kebiasaan kesehatan sekaligus ritual sosial dalam satu paket.

Di Rockhampton, Queensland, warga berkumpul setiap Rabu untuk Run and Rump, sebuah klub lari yang tiap minggu bertemu di pub berbeda, menempuh rute 5 km, lalu menikmati steak yang lezat bersama.

Di Brisbane, Soso’s Run Club telah menjadi bagian dari kehidupan kota, dengan ratusan orang hadir untuk lari, bersosialisasi, dan berinteraksi, diikuti dengan kopi dan mangkuk acai setelah lari. Dengan ratusan pelari bergabung setiap minggu, pengikut Instagram mereka kini hampir mencapai 30.000.

Perubahan budaya ini juga didukung oleh penelitian. Menurut laporan Future of Wellness dari McKinsey, 56% konsumen Gen Z mengatakan kebugaran merupakan prioritas sangat tinggi, lebih tinggi dibanding generasi lain.

Laporan yang sama menemukan Gen Z dan Milenial membeli lebih banyak produk dan layanan terkait kesehatan dibanding generasi sebelumnya, mulai dari aplikasi mindfulness hingga nutrisi berbasis nabati.

Namun, ini bukan hanya soal kesehatan fisik. Intinya, tren ini tentang koneksi sosial. Kebugaran menjadi salah satu cara favorit Gen Z untuk bertemu orang baru dan membangun hubungan.

Anggapan anak muda ingin bersosialisasi lewat minuman dan acara malam hari kini semakin usang. Jika merek dan tempat kerja ingin tetap relevan, mereka perlu memikirkan ulang cara membangun komunitas dan memberikan nilai bagi audiens Gen Z.

Perubahan ini sudah terlihat di pasar. Hotel mulai memperluas penawaran wellness dan ruang gym untuk menarik minat pelancong muda. Operator wisata merancang pengalaman berbasis alam, seperti mpanen buah, dan kelas memasak berbahan nabati untuk memenuhi permintaan yang meningkat.

Perusahaan pun menata ulang fasilitas karyawan, dengan tunjangan kesehatan, sumber daya untuk kesehatan mental, dan keanggotaan gym menggantikan kebiasaan nongkrong di bar pada Jumat malam.

Perubahan generasi ini bukan berarti menolak kesenangan, tapi mendefinisikannya ulang. Dalam era tekanan ekonomi, kelelahan digital, dan penyesuaian pasca-pandemi, Gen Z memilih gaya hidup yang menyenangkan baik sekarang maupun di masa depan. Mereka ingin merasa terhubung, berenergi, dan seimbang.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 2 November 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories