Riset: 20 PLTU di Indonesia Berisiko Sebabkan 156 Ribu Kematian

PLTU Cirebon (ist/Trend Asia)

JAKARTA, WongKito.co - Lembaga riset CREA, CELIOS, dan Trend Asia mengungkapkan, operasional 20 PLTU batu bara di jaringan Sumatera, Jawa, dan Bali hingga 2050 dapat menyebabkan 156.000 kematian dini dan kerugian ekonomi USD 109 miliar (Rp1,813 kuadriliun). Hal ini diketahui dalam laporan riset ‘Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia’ yang diluncurkan di Jakarta, Selasa (04/11/2025). 

Laporan tersebut diharapkan menjadi titik pijak bagi pemerintah dalam menentukan PLTU mana saja yang harus segera dipensiunkan. Mengingat,  satu tahun kepemimpinan Prabowo yang tidak terlihat ada tindakan berarti untuk mewujudkan komitmen iklim globalnya memensiunkan PLTU dan 100% energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang. 

Ketiga lembaga ini memperhitungkan emisi yang dihasilkan, dampak kesehatan dan cemaran terhadap lingkungan, serta kerugian di sektor ekonomi baik masyarakat maupun negara. Perhitungan dampak ini mulai dari kumulatif historis (2000-2025) dan proyeksi kumulatif di masa depan (2026-2050). 

“Belakangan, kita sering mendengar berita kenaikan angka akibat ISPA di Jakarta pada tahun 2025. Salah satu penyebab dari ISPA yakni cemaran polutan lintas batas dari PLTU batu bara di sekitar Jakarta,"ujar Katherine Hasan, Analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). 

Menurutnya, kebergantungan Indonesia pada pembangkit listrik berbasis batu bara tidak hanya membawa risiko kesehatan bagi seluruh masyarakat, tapi juga membebani perekonomian dalam jangka panjang serta melemahkan komitmen transisi energi dan target iklim nasional.

Tangkapan layar peluncuran laporan Toxic Twenty yang disimak daring. (ist/bersihkan indonesia youtube)

Rencana pemensiunan PLTU yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) nomor 10 tahun 2025 tentang peta jalan energi sektor ketenagalistrikan tidak akan menghindari Indonesia dari risiko mematikan pembakaran batu bara. Permen tersebut baru bersifat opsional bukan mandat untuk penyelamatan iklim dan masyarakat namun bergantung pada bantuan pendanaan. 

Bauran energi tinggi emisi yang diklaim terbarukan hanya memperpanjang masa penggunaan pembangkit energi kotor. Riset terhadap 20 PLTU di jaringan Sumatera, Jawa, dan Bali ini juga mengungkapkan kerugian ekonomi per tahun di masa mendatang yang dialami negara mencapai Rp52,4 triliun dan berkurangnya pendapatan masyarakat secara agregat sebesar Rp48,4 triliun. 

Riset ini juga mendapati sebanyak 1,45 juta tenaga kerja akan berkurang dari terus beroperasinya 20 PLTU paling berbahaya tersebut. Ini adalah akumulasi dari tergerusnya lahan pertanian subur, perkebunan dan perikanan yang terdapat pencemaran lingkungan. 

Kehadiran PLTU tidak hanya memberikan dampak negatif secara makro terhadap perekonomian, tapi juga menghancurkan ekonomi di sektor-sektor strategis yang selama ini menjadi mata pencaharian warga. 

“Selain mengakibatkan tingginya angka ketidakhadiran kerja, kehadiran PLTU mengakibatkan 1,45 juta tenaga kerja kehilangan pekerjaan. Mereka rata-rata berasal dari sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akibat pencemaran lingkungan. Hal ini menjadi ironi, sebab pemerintahan Prabowo-Gibran berjanji membuka 19 juta lapangan kerja, tapi nyatanya pemerintah justru menghilangkan sumber ekonomi masyarakat,” kata Atina Rizqiana, Peneliti dari Celios. 

Penelitian ini juga mengungkap, pemensiunan dini PLTU justru mampu menghemat potensi kerugian negara. Melalui riset ini, para investor juga harus melihat bahwa pembangunan PLTU bukan hanya bisnis yang merugikan secara finansial, tapi juga menghancurkan lingkungan dan kesehatan masyarakat. 

“Di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, pemensiunan dini PLTU justru menjadi solusi untuk menyelamatkan keuangan negara. Potensi dampak kematian dini dan kerugian ekonomi ini bukan hanya deretan angka, tapi warga yang menjadi korban atas kehadiran PLTU memang ada. Negara-negara pemberi modal dan Pemerintah harus berhenti menawarkan solusi palsu untuk menunda pemensiunan PLTU, melainkan benar-benar melakukan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan,” tukas Novita Indri Pratiwi, Pengampanye Energi Trend Asia. 

Warga di Lingkar PLTU Terpaksa Pindah

Darna, warga Desa Nagan Raya, Aceh menuturkan, dia dan warga desa terpaksa pindah dari rumah yang mulanya 500 meter dari PLTU. Mereka berpindah ke lokasi yang terletak 3 kilometer dari PLTU karena lingkungan yang tidak layak ditinggali. Anak-anak terkena asma dan penyakit gatal-gatal, ada juga yang batuk-batuk. 

"Selain masalah kesehatan, hasil pertanian kami sudah tidak seperti dulu lagi. Sebenarnya pertanyaan kami ke pemerintah, kalau PLTU ini dibangun untuk ketenagalistrikan, mengapa kami warga yang berada di sekitar PLTU tidak mendapatkan listrik?” ujarnya.

Novi, Warga Desa Winong, Cilacap, Jawa Tengah juga mengeluhkan, keberadaan PLTU Cilacap membawa dampak kesehatan bagi warga Winong, Cilacap. Akibatnya dampak kesehatan ini, beberapa warga Winong memutuskan untuk pindah rumah karena sudah tidak mampu membayar biaya kesehatan. PLTU Cilacap juga membawa dampak ekonomi bagi nelayan. 

“Kalau dulu di 2018, para nelayan masih ada pendapatan dari hasil melaut, sekarang TPI ditutup. Kami di Winong, tidak bisa mengakses pesisir karena abrasi dan banyak rumah warga tenggelam. Pada akhirnya, warga yang menolak kehadiran PLTU terpaksa menjual rumahnya ke PLTU daripada rumahnya semakin tenggelam.”

Kesaksian serupa juga disampaikan Dedy Susanto, salah satu nelayan Pangkalan Susu, Sumatera Utara. Nelayan menjadi komunitas paling terdampak atas kehadiran PLTU Pangkalan Susu karena limbah air bahang yang dibuang ke laut. 

"Kami sebagai nelayan di Pangkalan Susu terpaksa beralih profesi karena sudah tidak bisa melaut. Saya sekarang menjadi buruh bangunan. Selain mata pencaharian kami yang hilang, PLTU Pangkalan Susu juga mengakibatkan gatal-gatal di kulit. Kami ingin PLTU ditutup karena itu membunuh masyarakat,” kata Dedy. 

Sementara Ahmad Yani, warga desa Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat, menyampaikan, warga Mekarsari, Indramayu berjuang menolak PLTU sampai sekarang. Di desanya telah berdiri PLTU 1 Indramayu dan direncanakan ada PLTU 2 yang sampai sekarang masih mereka tolak hingga Jepang mengundurkan diri sebagai pendana. 

"Pemerintah itu sebenarnya mengetahui soal dampak PLTU, karena kami sudah pernah ke Istana untuk menyampaikan masalah kami. PLTU membawa dampak kesehatan akibat polusi udara, selain itu pertanian kami yang mulanya mudah dikelola menjadi sulit dikelola. Dulu di sana tumbuh subur pohon kelapa, tapi sekarang tidak ada yang bisa tumbuh. Namun pemerintah melihat kondisi warga seperti ini, bukannya menutup PLTU malah sekarang mencampur batubara dengan serbuk kayu,” keluh Ahmad Yani.

Dalam peluncuran riset ini, tim peneliti telah memberikan undangan untuk Kementerian ESDM untuk memberikan tanggapan atas studi ini, namun tidak ada konfirmasi kehadiran hingga acara berlangsung. Padahal Kementerian ESDM merupakan salah satu kementerian yang memegang peran krusial dalam perencanaan pemensiunan PLTU. (*)

Editor: Redaksi Wongkito
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories