Setara
Senja Kala Penanganan, Egaliter juga Hak Orang Dengan HIV!
PALEMBANG, WongKito.co - Data mengungkapkan kasus pertama orang dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) ditemukan di Bali sejak tahun 1987, namun hingga kekinian harapan untuk menjadi bagian dari rakyat biasa orang dengan HIV masih bak jauh panggang dari api.
Stigma dan diskriminasi menjadi alasan, mayoritas penyintas HIV belum mau membuka status diri atau open status kalau dirinya orang dengan HIV.
Adalah Febi Wulandari, Koordinator Pendukung Sebaya Yayasan Sriwijaya Plus mengungkapkan kalau sulit bagi orang dengan HIV membuka status mereka kepada masyarakat.
Penyintas HIV masih dianggap orang yang terpapar virus akibat perbuatan buruk yang sebelumnya dilakukan.
Stigma yang hingga kini masih melekat di masyarakat membuat orang dengan HIV tidak bisa mengungkapkan status ke publik, padahal itu sangat penting sebagai bentuk edukasi kepada khalayak, diantaranya menunjukan kalau orang dengan HIV bisa hidup normal dan sehat asal disiplin dalam mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) setiap hari.
"Efek negatifnya banyak mbak, kalau klien membuka status mereka kepada masyarakat, antara lain bisa diusir dari rumah sendiri ," kata Febi, saat diwawancarai belum lama ini.
Namun, kepada petugas kesehatan tentunya penyintas HIV wajib mengungkapkan status HIV-nya. Apalagi, saat mulai program hamil sampai melahirkan seorang perempuan dengan HIV benar-benar harus memastikan di bawah pengawasan tenaga kesehatan.
Hal itu, penting untuk memastikan kesehatan ibu dan tentunya juga bisa mengantisipasi bayi dilahirkan positif HIV.
Baca Juga:
- Elon Musk Langsung Depak Sejumlah Petinggi, Resmi Akuisisi Twitter
- Bukit Asam Targetkan Ekspor Batu Bara di Kuartal IV-2022 Capai 40 Persen
- Resep Nasi Pedas Ayam Panggang Ketumbar ala Rudy Choirudin
Begitu juga saat ke dokter gigi, atau klinik kesehatan lainnya. "Kami selalu mengingatkan orang dengan HIV untuk membuka statusnya kepada petugas kesehatan," ujar Febi.
Perempuan berkerudung ini bercerita sebagai pendukung sebaya dirinya dan tim secara intensif tentunya melakukan pendampingan baik dalam rangka mengedukasi penyintas HIV dan keluarga, juga memastikan mereka menjalani pola hidup sehat dan terapi antiretroviral maupun mengadvokasi jika mereka terkena masalah terutama yang berhubungan dengan layanan di fasilitas kesehatan yang telah disediakan pemerintah dan swasta.
"Kami melakukan pertemuan rutin 3 bulan sekali, untuk membahas beragam permasalahan kekinian klien,", kata dia lagi.
Selama pandemi, dia mengungkapkan memang sempat vacum melaksanakan pertemuan secara langsung, tetapi komunikasi dan diskusi tetap berjalan optimal dengan menggunakan sejumlah aplikasi mengobrol.
Di Sumatera Selatan sendiri, Febi didampingi Ketua Yayasan Sriwijaya Plus, Rachmat Saleh mengungkapkan sebanyak 2.000 penyintas HIV yang menjadi bagian dari program pendampingan organisasi nirlaba tersebut.
Secara teritorial di Sumatera Selatan, terdapat sembilan kota/kabupaten yang menjadi wilayah intervensi Sriwijaya Plus, yaitu Palembang, Prabumulih, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Muara Enim dan Banyuasin serta Ogan komering Ulu Timur.
Khusus untuk Kota Palembang, Prabumulih dan Musi Rawas dia menjelaskan ada dua orang masing-masing pendukung sebaya yang "stay" untuk memberikan penyuluhan dan konsultasi secara reguler bagi orang dengan HIV di daerah tersebut.
Sedangkan enam kabupaten lainnya, pendukung sebaya biasanya melakukan pendampingan sebulan sekali dengan berkeliling.
Sehat saat pandemi
"Perlu diketahui, bagi orang dengan HIV tanpa penyakit penyerta selama pandemi yang telah berjalan lebih dari dua tahun ini jarang yang terpapar Corona Virus Disease 2019 alias COVID-19," tutur Rachmat.
Kalaupun ada klien yang terpapar COVID-19, tambah Rachmat keluhannya sama seperti mereka yang bukan penyintas HIV. "Biasanya, akan kembali pulih seperti pasien biasa lainnya," kata dia.
Dia mengungkapkan dari 2.000 klien yang didampingi, lima (5) orang dengan HIV meninggal dunia akibat terpapar COVID-19. Namun, mereka yang telah berpulang tersebut memang memiliki penyakit bawaan, seperti diabetes dan darah tinggi.
"Ada juga, yang meninggal terpapar COVID-19 karena baru ketahuan orang dengan HIV sehingga belum sempat menerima layanan kesehatan, atau belum sama sekali mengonsumsi ARV," kata dia lagi.
Di sisi lain pandemi sama dengan masyarakat dunia kebanyakan juga berdampak langsung pada kehidupan, permasalahan ekonomi yang nyata dialami. Tidak bekerja dan sulit memdapatkan peluang usaha sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Lalu terkait dengan pelayanan kesehatan selama pandemi, Febi menambahkan pihaknya selalu mengingatkan penyintas HIV untuk tetap mengonsumsi ARV setiap hari. Karena obat tersebut, layaknya obat bagi penderita darah tinggi penyandang HIV juga wajib mengonsumsi seumur hidup.
"Awal-awal pandemi memang sempat terjadi masalah distribusi obat ARV, akibat pasokan obat yang terkendala tetapi akhirnya bisa didapatkan kembali" kata dia.
Di Sumatera Selatan terdapat 87 puskesmas dan 28 rumah sakit pemerintah maupun swasta yang memiliki layanan untuk pengobatan dan perawatan orang dengan HIV.
Rachmat mengungkapkan perlu juga diketahui bahwa sampai kini masih saja ada penyintas yang enggan mengonsumsi obat ARV secara rutin. Padahal, edukasi pentingnya mengonsumsi obat bagi positif HIV sudah berulang kali disampaikan pendukung sebaya.
Kondisi tersebut, tentunya menjadi salah satu efek dari masih terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV. Akibatnya, mereka meminum obat pun masih enggan apalagi untuk membuka status dirinya sebagai orang dengan HIV.
Karenanya, penting sekali bagi semua stakeholder untuk saling mendukung bagaimana orang dengan HIV bisa diberi kesempatan yang sama dalam perspektif Hak Azasi Manusia (HAM).
Apalagi, penularan HIV bukan saja seperti dipikiran masyarakat awam selama ini. Bahkan, balita dan perempuan yang positif pun berasal dari kelompok masyarakat biasa yang jauh dari kehidupan seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini, mereka bukan pekerja seks, bukan pemakai jarum suntik atau bukan berasal dari populasi kunci lainnya.
Meskipun tetap saja, kelompok populasi kunci, seperti pekerja seks, lelaki seks lelaki (LSL) dan pemakai narkoba suntik menjadi paling penting mendapatkan edukasi karena prosentase orang dengan HIV terbanyak.
Mayoritas LSL
Kekinian sejak awal tahun hingga September 2022, jumlah penyintas HIV mencapai 181 dan AIDS sebanyak 62 kasus temuan baru di Kota Palembang.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Palembang Yudhi Setiawan mengungkapan guna mengantisipasi penyebaran HIV, pemkot setempat telah melakukan berbagai antisipasi.
Diantaranya adalah dengan mewajibkan rapid tes HIV bagi ibu hamil yang datang ke layanan kesehatan, bukan hanya di rumah sakit tetapi juga di 42 Puskesmas di kota pempek.
"Klinik bersalin yang dikelola bidan pun telah diwajibkan untuk melakukan rapid tes khusus HIV," kata dia.
Langkah tersebut, tambah dia untuk memastikan kalau ada ibu hamil yang positif HIV segera dilakukan pencegahan penularan kepada anaknya.
Pencegahan penularan HIV tersebut merupakan prosedur yang wajib diikuti ibu hamil. Karena seperti diketahui, seorang ibu hamil yang positif jika sejak diawal kehamilan sudah meminum obat ARV maka anaknya berkemungkinan negatif HIV.
Ditambah lagi, saat lahir bayi tidak minum air susu ibu (ASI) dari ibu yang positif. "Niscaya anak bisa lahir dan tumbuh sehat tanpa HIV," kata dia lagi.
Baca Juga:
- ESG Award: TBIG Raih Predikat Sustainability di TrenAsia ESG Excellence 2022
- Hoax: Daftar Obat yang Ditarik Karena Kasus Gagal Ginjal Akut
- Bingung Beri Obat untuk Anak Demam, Yuk Atasi dengan 5 Cara Alami ini
Secara praktik sebenarnya, kata Yudhi penularan dari ibu ke bayi sudah bisa diantisipasi sejak dini.
Karena itu, kini angka positif HIV bayi atau anak yang dilahirkan ibu dengan HIV sudah berkurang, berkat edukasi yang terus menerus dilakukan pendamping maupun lembaga pemerintah.
Tetapi hal berbeda kini justru terjadi, meningkatnya orang yang terinfeksi HIV dan AIDS dampak dari hubungan sejenis lelaki seks lelaki atau LSL.
Dari 181 kasus baru HIV dan 62 kasus AIDS di Kota Palembang, 70 persen terinfeksi virus akibat gaya LSL.
Kondisi tersebut, erat kaitannya dengan perubahan gaya hidup masyarakat saat. Oleh sebab itu, penting sekali edukasi dini bagi generasi muda agar terhindar dari paparan HIV maupun AIDS.
"Penting nian keterlibatan semua pihak untuk menekan penyebaran HIV, termasuk pemuka agama juga terlibat aktif. Tentunya, dengan menyampaikan pentingnya melakukan gaya hidup sehat yang sebenarnya," ujar Yudhi.
Open status
Masih ditemukannya stigma dan kasus diskriminasi terhadap orang dengan HIV menjadi cerita lain, yang terjadi hingga kini.
Padahal, penanganan HIV dan AIDS sudah senja kala. Sejak lama, telah banyak program-program berkaitan dengan isu HIV dan AIDS dilaksanakan organisasi pemerintah, non pemerintah bahkan kelompok peduli lainnya.
Namun, penyintas HIV dan AIDS tampaknya belum bebas dari stigma dan diskriminasi.
Dua perempuan tangguh, Noris (41) dan Eni (34) mengaku telah membuka diri kepada keluarga dan masyarakat sekitarnya sebagai penyintas HIV.
"Saya tertular dari almarhum suami, tetapi tahu kalau positif sehari sebelum melahirkan," kata Noris.
Hal senada diungkapkan Eni kalau dirinya menjadi "member" setelah tertular dari suami.
"Sama seperti mbak Noris, kami ini ibu rumah tangga biasa yang awalnya pun tidak tahu apa itu HIV apa itu AIDS," kata perempuan tangguh ini.
"Alhamdulillahnya," kata Noris anak lelaki yang dikandung dan dilahirkanya negatif HIV dan sampai kini telah berusia 15 tahun sehat dan riang tentunya.
"Anak saya, menjadi pelipur lara dan menjadi penyemangat bagi kami yang positif ini," kata dia lagi.
Begitu juga ungkapan Eni, kini tiga anak-anaknya hidup normal sehat dan ceria karena memang mereka tidak terpapar HIV.
Sedangkan, anak keduanya meninggal saat berusia 1,3 tahun. Saat itu, dirinya mengaku sama sekali belum mendapatkan edukasi tentang HIV maupun AIDS dan anak kedua juga positif HIV.
Lahirlah anak ketiganya, kembar yang kini masih berusia balita, tumbuh sehat tanpa terpapar HIV karena dari mulai dikandung sampai dengan melahirkan mengikuti ketentuan atau prosedur untuk mengantisipasi penularan virus kepada anak, tutur Eni bersemangat.
Dengan berkumpul bersama komunitas, sama-sama penyintas HIV Eni dan Noris mengakui membuat mereka kuat. Bergabung dengan Yayasan Intan Maharani Palembang menjadi hari-hari yang dijalani untuk mendampingi pasien HIV lainnya terutama dari kelompok pekerja seks perempuan (PSP).
"Kami saling menguatkan, kami sama-sama bangun kekuatan untuk menghadapi jika terjadi diskriminasi terutama dari layanan kesehatan," tutur mereka bersamaan.
Eni bercerita awal mengenal Noris pun, saat dirinya mengalami diskriminasi yang pelakunya adalah tenaga kesehatan berawal di ruang operasi melahirkan.
"Saya melahiran operasi mbak, karena "member" wajib melahirkan "SC"," kata dia.
Saat keluar ruangan operasi ternyata bukan hanya kata-kata menyakitkan keluar dari tenaga kesehatan. Tetapi, mereka juga mendiskriminasi bayi yang baru dilahirkannya.
Ketika itu, tahun 2018 benar-benar menjadi masa yang buruk bagi Eni, karena sudah melahirkan anak kembarnya tidak diperlakukan sama dengan bayi-bayi yang baru lahir lainnya.
Baca Juga:
- ESG Award: Terapkan Aspek Berkelanjutan, PGN Sabet TrenAsia ESG Excellence 2022
- Tingkatkan Penggunaan Kendaraan Listrik, BRI Bersama PLN Resmikan SPKLU
- Yuk Intip Ini Strategi Keamanan Modalku, Serangan Siber 22,4 Persen Terjadi di Industri Keuangan
"Anak saya bukan diberi perlak layaknya bayi baru lahir, tetapi diberi plastik untuk membuang sampah medis," kata dia mengingat masa sulit itu.
Dari sanalah, dia mencari tahu kemana harus menyampaikan unek-unek terkait perlakuan yang diterimanya.
Akhirnya bersyukur, karena bisa diadvokasi Mbak Febi dan Mbak Noris serta sejumlah pendamping lainnya. Dampaknya, pihak rumah sakit tempat ia melahirkan pun minta maaf atas perlakuan oknum tenaga kesehatan.
Noris menambahkan sangat berharap pemerintah juga memberikan hak yang sama bagi penyintas HIV terkait dengan akses bantuan modal untuk mendukung perekonomian penyintas.
"Banyak sekali orang dengan HIV perempuan yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga, padahal dia menjadi tulang punggung pascasuaminya meninggal karena AIDS tetapi bingung mau bekerja apa," ujar dia.
Program pemerintah yang tidak diskriminatif terhadap penyintas HIV dan AIDS menjadi harapan hingga kini, baik di sektor ekonomi, kebijakan publik dan lain tentunya dalam perspektif HAM terkait setaraan.(Nila Ertina)