Simak Sejarah Jakarta Fair yang hingga Kini Eksis, Digagas Ali Sadikin, jadi Pameran Terbesar se-Asia Tenggara

Suasana pesta kembang api saat perayaan HUT DKI ke-495 di Jakarta Fair, Kemayoran, Selasa, 21 Juni 2022 malam. (Foto: Ismail Pohan/TrenAsia)

JAKARTA – Setiap tahun penyelenggaraaan Jakarta Fair yang venuenya berlokasi di Kemayoran menjadi agenda spektakuler yang ditunggu-tunggu karena merupakan pameran terbesar se-Asia Tenggara, dan dalam waktu dekat akan segera dibuka. Ajang ini diharap turut mendorong produk-produk dalam negeri untuk memajukan ekonomi nasional, sesuai dengan tema tahun ini yaitu “Jakarta Fair Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional Bersaing di Pasar Dunia.”

Dilansir dari jakartafair, pameran terbesar ini mengusung sub-tema “Galakkan Inovasi, Industrialisasi, Kreativitas Maksimal,” dengan menampilkan produk unggulan dari berbagai sektor industri. Selain menjadi tujuan belanja, Jakarta fair kemayoran merupakan salah satu pusat hiburan dan destinasi kuliner nusantara.

Lantas, bagaimana sejarah Jakarta Fair yang telah menjadi agenda tahunan untuk memeriahkan HUT Jakarta ini?

Diusung Ali Sadikin

Setelah Indonesia merdeka, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengusulkan penggabungan berbagai pasar malam di Jakarta menjadi satu festival untuk meningkatkan pemasaran produk dalam negeri. Ia kemudian menginstruksikan Syamsudin Mangan, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin), untuk mewujudkan ide tersebut pada tahun 1960-an.

Baca Juga:

Dilansir dari jakartafair.co.id, gagasan ini muncul dari keinginan untuk menciptakan pameran besar yang terpusat dan berlangsung lama untuk menyatukan berbagai pasar malam yang masih tersebar di sejumlah wilayah Jakarta, dan mewujudkan pameran besar yang menghadirkan produk dalam negeri.

Jakarta Fair juga terinspirasi dari Pasar Malam Gambir, yang dulu rutin diadakan setiap tahun di bekas Lapangan Ikada (sekarang kawasan Monas).

Dilansir dari Jakarta Smart City, pada tahun 1967 tercetuslah ide untuk mengadakan pameran besar yang berlangsung dalam waktu lama. Pemprov DKI Jakarta menyambut baik gagasan ini dengan membentuk panitia sementara berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1968. Melalui peraturan ini, Djakarta Fair menjadi acara tahunan ibu kota setiap tanggal 22 Juni, bertepatan dengan hari ulang tahun DKI.

Djakarta Fair atau Jakarta Fair pertama kali diselenggarakan pada 5 Juni hingga 20 Juli 1968. Presiden Soeharto meresmikan pembukaannya dengan melepas burung merpati pos. Lokasinya berada di kawasan Monas selama periode 1968–1991. Jakarta Fair pertama ini bisa dikatakan sukses karena berhasil menarik 1,4 juta pengunjung.

Ditetapkan Melalui Perda

Pemprov DKI meresmikan penyelenggaraan Jakarta Fair dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1968. Peraturan ini menetapkan Jakarta Fair sebagai agenda tahunan yang diselenggarakan menjelang HUT DKI Jakarta.

Penyelenggaraan Terlama dan Dihadiri Presiden AS

Jakarta Fair pada umumnya berlangsung 30-35 hari. Dilansir dari jakartafair.co.id, setahun setelah dibuka untuk umum, Jakarta Fair mencatatkan rekor sebagai pameran terlama dengan durasi 71 hari dan dikunjungi oleh Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, pada tahun 1969. Ia sempat melambaikan tangannya kepada para pengunjung yang hadir.

Pindah ke Kemayoran

Tidak lama kemudian, Pekan Raya Jakarta (PRJ) berganti nama menjadi Jakarta Fair dan pindah lokasi ke Kemayoran, Jakarta. Seiring dengan perkembangan zaman, pameran yang awalnya digelar di lahan seluas 7 hektar di kawasan Monas, akhirnya pindah ke area yang lebih luas di Kemayoran guna memperluas jangkauannya.

Dilansir dari jakartafair.co.id, pameran yang awalnya hanya tempat jual beli barang-barang telah berubah menjadi pusat hiburan dan surga kuliner di Jakarta, serta menjadi destinasi rekreasi bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya.

Berdampak pada Ekonomi

Dilansir dari jurnal berjudul, “Jakarta Fair dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1968-1975,” oleh Ika Trisni Dwi Lestari dan Sri Mastuti P. Jakarta Fair merupakan salah satu pameran yang berpotensi untuk mendorong pertumbuhan ekspor Indonesia.

Berbagai komoditi dari berbagai industri dan pedagang ditampilkan dan didagangkan di Jakarta Fair. Beberapa produk yang dipamerkan memiliki potensi untuk diekspor. Seperti Jakarta Fair tahun 1975, salah satu produk yang dipromosikan untuk ekspor adalah kayu.

Aktivitas ekonomi di Jakarta Fair juga berdampak pada impor Indonesia. Ini karena terjalinnya hubungan dagang antara pengusaha dan pedagang lokal dengan pelaku usaha dari luar negeri. Peserta asing umumnya menawarkan produk berteknologi tinggi, seperti mesin.

Beberapa negara yang berpartisipasi dalam Jakarta Fair dan menawarkan mesin termasuk Jepang, China, Rusia, Jerman, Swedia, dan Korea.

Jakarta Fair juga berdampak pada investasi atau penanaman modal, baik itu dalam bentuk modal asing maupun modal domestik. Investasi asing dan domestik dapat masuk ke berbagai sektor, termasuk sektor industri.

Baca Juga:

Jakarta Fair memberikan manfaat bagi pemerintah daerah dengan meningkatkan penerimaan daerah, termasuk dari pajak tontonan. Sejak diselenggarakan, Jakarta Fair telah menerapkan karcis untuk pengunjung yang ingin menikmati acara. Jakarta Fair juga menjadi salah satu pilihan wisata hiburan yang disediakan pemerintah untuk masyarakat.

Manfaat yang dirasakan masyarakat, baik dari kalangan atas maupun bawah adalah Jakarta Fair menyediakan hiburan yang terjangkau. Selain itu, kegiatan ini juga memberikan dampak positif terhadap peningkatan ekonomi penduduk sekitar.

Jakarta Fair membantu menciptakan lapangan kerja sementara, seperti untuk tukang parkir, petugas stand, SPG (Sales Promotion Girl) dari berbagai stand, petugas keamanan, dan lain-lain. Sebagai contoh, pada penyelenggaraan Jakarta Fair yang kedua, sekitar 13.600 pekerja harian terlibat, dengan sekitar 12.000 orang sebagai petugas stand dan petugas parkir.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 15 Jun 2024 

Bagikan

Related Stories