Tidak Ditetapkan Status Bencana Nasional: Warga Sumatera Barat Gugat Negara atas Kelalaian dalam Bencana Ekologis

Tidak Ditetapkan Status Bencana Nasional: Warga Sumatera Barat Gugat Negara atas Kelalaian dalam Bencana Ekologis (ist)

PADANG, WongKito.co - Dalam rangka memeringati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, warga Sumatera Barat resmi mengajukan notifikasi Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/CLS) atas dugaan kelalaian negara dalam mencegah dan menangani bencana ekologis yang terjadi sejak akhir November 2025.

Tim Advokasi Keadilan Ekologis  bertindak sebagai kuasa hukum masyarakat korban yang terdiri dari Kota Padang, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Solok.

Gugatan ini diajukan setelah pengabaian 10 hari seruan publik melalui YLBHI-LBH di Sumatera agar pemerintah menetapkan status bencana nasional, namun tidak pernah direspons secara serius. Padahal, di Sumatera Barat sendiri berdasarkan data terbaru dari BPBD menimbulkan kerugian ekologis, sosial, ekonomi, dan bahkan korban jiwa dengan jumlah yang sangat fantastis dengan terdapatnya korban dari bencana telah menewaskan 238 orang, 93 orang masih hilang, 113 orang luka-luka, merusak 8.300 unit rumah, 486 fasilitas umum, 216 fasilitas pendidikan, 65 fasilitas kesehatan, 205 rumah ibadah, 29 gedung dan 64 jembatan, sumber data BNPB, Rabu (10/12/2025).

Baca Juga:

Rangkaian bencana dimulai sejak 26 November 2025 di Kabupaten Agam, setelah hujan intens turun terus-menerus sejak 20 November akibat pengaruh siklon.

Tim Advokasi Keadilan Ekologis menegaskan bahwa bencana ini bukan sekadar fenomena alam akibat curah hujan ekstrem yang tercatat BMKG mencapai 154 mm/hari, tetapi merupakan sebuah kelalain yang tersistematis yang mengakibatkan terjadinya bencana ekologis yang dapat kita lihat dari pembiaran proses illegal logging dan meaning, salah urus izin, deforestasi, dan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berlangsung bertahun-tahun.

Temuan pemetaan tim GIS LBH Padang mengonfirmasi bahwa banyak titik bencana berada di area yang telah berubah fungsi lahan, zona rawan yang dialihfungsikan, atau wilayah DAS yang dijadikan pemukiman maupun aktivitas berizin.

Kerusakan ekologis ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum terhadap illegal logging dan illegal mining, termasuk beberapa kasus yang menunjukkan indikasi kuat pembekingan aparat seperti Tambang emas ilegal di Nagari Simanau, Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok, Tambang ilegal di Sulik Aie, Kabupaten Solok, Illegal logging di kawasan hulu DAS Kota Padang, ktivitas ilegal di Kawasan Taman Wisata Alam (WTA) Megamendung, Aktivitas illegal logging di kawasan Cagar Alam Maninjau seluas 3.043 hektare.

Selain itu, deforestasi mencapai lebih dari 28.000 hektar sepanjang tahun 2025, dan total kehilangan tutupan hutan 2020–2024 mencapai 48.174 hektar, sebagaimana data Dinas Kehutanan Sumbar. Kondisi ini memperburuk kerentanan hidrologis dan mempercepat terjadinya banjir bandang besar pada November 2025.

Melalui Notifikasi CLS, warga menyatakan bahwa negara telah gagal memenuhi kewajiban konstitusional untuk melindungi keselamatan rakyat dan menjaga keberlanjutan ekosistem, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU PPLH, UU Penataan Ruang, UU Penanggulangan Bencana, hingga instrumen HAM internasional seperti ICESCR dan Paris Agreement.

Melalui CLS ini, warga meminta negara melakukan evaluasi kinerja perizinan, menghentikan praktik yang melanggar tata ruang, serta melaksanakan pemulihan yang layak dan berkeadilan. Gugatan akan ditujukan kepada pejabat pemerintahan yang memiliki kewajiban hukum dalam pengawasan ruang, mitigasi, pencegahan bencana, perencanaan pembangunan, dan penegakan hukum, yaitu: Presiden Republik Indonesia, Menteri Kehutanan , Menteri Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri,  Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, c.q Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Gubernur Sumatera Barat, Walikota Padang, Bupati  Agam, Bupati Tanah Datar, Bupati Solok. Warga menilai bahwa para pejabat tersebut telah melakukan kelalaian, pembiaran, kesalahan perizinan, salah urus tata ruang, serta gagalnya melakukan pengawasan dan penegakan hukum, yang secara kausal menyebabkan skala bencana membesar.

Notifikasi CLS dikirimkan tepat pada hari HAM kepada seluruh instansi terkait melalui pos dan pengantaran langsung oleh Tim Lawyer Advokasi Keadilan Ekologis. Jika dalam 60 hari kerja tidak ada tindakan nyata terhadap tuntutan warga, gugatan akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Padang

Adrizal, Perwakilan Tim Advokasi Keadilan Ekologis, menyampaikan  bencana yang terjadi saat sekarang yang menimpa tiga provinsi di Sumatera termasuk di Sumatera Barat tidak bisa kita anggap sebagai bencana tahunan karena faktor alam semata.

"Melainkan sebuah bencana yang terencana akibat  eksploitasi terhadap kawasan hutan yang secara brutal dan tanpa adanya sebuah evaluasi dan pengawasan padahal dalam Laporan Dinas kehutanan Provinsi Sumatera Barat setiap tahun membuat bagaimana lonjakan angka deforestasi di Sumatera Barat," kata dia .  

Ia menegaskan tidak bisa  biarkan secara terus menerus tanpa adanya evaluasi secara menyeluruh karena jika ini dilakukan pembiaran maka akan lebih  banyak lagi rakyat yang akan menjadi korbannya.

kejahatan yang tersistematis dalam bencana ekologis ini juga bisa kita lihat disaat pemerintah memberikan izin izin kepada pemilik modal secara ugal-ugalan tidak tidak ada konsekuensi yang dihadirkan jika ditemukan pelanggaran sehingga  akibat adanya pengabaian ini ratusan jiwa meninggal dunia, ratusan fasilitas umum terdampak, ribuan masyarakat luka-luka dan ratusan rumah hancur dan masih banyak warga terdampak lainnya, katanya.

Namun hingga hari ini pemerintah belum mampu memenuhi hak dasar para penyintas, mulai dari bantuan darurat, pendataan yang akurat, hingga pemulihan yang layak.

Baca Juga:

Disamping itu berbagai peristiwa hukum juga menggambarkan bagaimana lemahnya penegakan hukum terhadap penjahat lingkungan. 
Setidaknya dengan beberapa tragedi seperti kasus penembakan antar anggota kepolisian yang berkaitan dengan pembekingan tambang ilegal di Solok Selatan, kasus tambang ilegal di Lubuak Matuang yang kembali beroperasi hanya dua minggu setelah ditutup oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Aktivitas tambang ilegal di Desa Sungai Abu Solok yang telah dilaporkan oleh masyarakat sejak 2017/2018 yang tidak pernah ditindaklanjuti oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat sehingga mengakibatkan belasan orang tewas akibat longsor seharusnya menjadi alarm merah untuk menguatnya penegakan hukum.

Adrizal juga menyoroti tarik-menarik antara pemerintah pusat dan daerah yang menghambat penanganan, lempar tanggung jawab antara daerah dan pusat tidak hanya tidak etis, tetapi memperbesar risiko bagi warga.

Keselamatan publik tidak boleh dikalkulasi dengan logika ekonomi semata. Pembangunan harus tunduk pada batas ekologis. Tanpa itu, kita hanya mengulang siklus bencana dan korban setiap tahun, tambah dia.(ril)


Related Stories