Ekonomi dan UMKM
Transaksi di Mal Sepi, "Rojali" dan "Rohana" jadi Kisah Populer
JAKARTA - Kekinian mal tampak ramai dan semarak, termasuk di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Namun, dari banyak pengunjung pusat perbelanjaan modern atau mal disinyalir hanya berjalan-jalan, mengambil foto, melihat etalase, atau duduk di food court tanpa melakukan pembelian.
Fenomena tersebut kini punya nama populer, Rojali dan Rohana. Akronim dari rombongan jarang beli dan rombongan hanya nanya, dua istilah ini merepresentasikan perubahan perilaku belanja masyarakat urban, ramai hadir di mal, tapi kantong tetap rapat.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, perilaku ini bukan sekadar gaya hidup baru, tapi sinyal penting melemahnya daya beli.
“Bisa kita lihat dari tingkat tabungan yang mengalami penurunan, tingkat penjualan sektor riil, penjualan barang ritel yang turun di triwulan kedua daripada triwulan satu, serta pinjaman yang meningkat terutama melalui fintech lending, ini yang menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat sebetulnya terbatas dari sisi kemampuan finansial mereka,” kata dia, mengutip TrenAsia.com, Sabtu (26/7/2025).
Baca Juga:
- Hoaks: Tarif Denda Tilang Lalu Lintas Juli 2025, Cek Faktanya
- DJP Resmi Luncurkan Piagam Wajib Pajak 2025, Ini Isi dan Tujuannya
- Untuk Calon Pengantin, Wyndham Opi Hotel Palembang Tawarkan Promo Spesial di Sumsel Wedding Expo Jilid 2
Hal senada juga diungkapkan oleh Esther Sri Astuti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Ia menegaskan bahwa pelemahan daya beli masyarakat saat ini diperburuk oleh dua faktor utama yang saling berkaitan, yakni gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri dan kenaikan harga bahan pokok yang terus melambung.
“Memang saat ini daya beli masyarakat berkurang karena kenaikan jumlah PHK di sejumlah industri. Di sisi lain, ada kenaikan harga harga bahan pokok, penciptaan lapangan pekerjaan dengan meningkatkan investasi yang bersifat padat karya. Kemudian melonggarkan dan mendorong wirausaha agar mereka yang terkena PHK bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,” tambah Esther.
Di sisi lain, perilaku rojali dan rohana juga dipandang sebagai bentuk pelarian dari tekanan hidup. Kondisi ini dinilai perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Esther menyarankan adanya program-program padat karya untuk menciptakan lapangan kerja, serta dukungan kewirausahaan bagi masyarakat yang terdampak PHK.
Baca Juga:
- Edukasi Sehat dan Aksi Hijau di Lingkar Tambang: Cerita Hari Ketiga Sanitary Camp
- Serunya Variety Show Mandiri Idol K-Pop, Dari RUN BTS hingga GOING SEVENTEEN
- Begini 7 Tips Memulai Karier sebagai Beauty Content Creator
Di tengah diskusi soal fenomena ini, Menteri Perdagangan Budi Santoso punya pandangan lain. Ia menyebut bahwa perilaku rojali dan rohana adalah hal lumrah dalam dunia perdagangan.
Fenomena rojali dan rohana seolah menjadi simbol zaman, era ketika masyarakat masih ingin menikmati gaya hidup modern, tapi terjebak dalam kenyataan ekonomi yang serba pas-pasan. Mereka hadir, tapi tak mampu memberi kontribusi nyata bagi roda ekonomi ritel. Bagi pelaku usaha, kondisi ini tentu menantang. Tapi bagi masyarakat, ini adalah refleksi dari perjuangan bertahan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 26 Jul 2025