Ekonomi dan UMKM
Untung Besar Harga Batu Bara Meroket, Pengamat Ingatkan Pengusaha Jangan Rakus
JAKARTA – Sejumlah harga komoditas meroket, termasuk batu bara yang sempat menyentuh level tertingginya sepanjang sejarah di level US$446 per ton pada Kamis, 3 Maret 2022.
Berbeda dengan kenaikkan harga pada komoditas minyak dan gas (Migas) yang malah menjadi beban bagi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), meroketnya harga batu bara justru mendatangkan segudang keuntungan yang luar biasa mengingat Indonesia merupakan salah satu negara pemasok batu bara terbesar di dunia saat ini.
Hal itu disampaikan oleh pengamat ekonomi dan energi asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, ia menerangkan bahwa kenaikan harga batu bara ini semakin memperbesar margin keuntungan yang didapat oleh para pengusaha batu bara melalui penjualan ekspor.
“Dengan harga pokok produksi antara US$ 30-40 per metrik ton, keuntungan besar sudah di tangan. Kenaikan laba yang besar itu sudah pasti akan menaikan harga saham bagi semua emiten perusahaan batu bara, yang menjual sahamnya di pasar modal,” terang Fahmy kepada trenasia.com Senin, 7 Maret 2022.
Baca Juga:
- Tidak Miliki Izin, Bappebti Hentikan Kegiatan Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) Gamara Bali
- 53 Persen Pelanggan PLN OKI Bermigrasi ke Listrik Prabayar
- Kali ini, Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Benih Lobster Senilai Rp18,675 Miliar
Selain dengan meningkatkan keuntungan bagi para pengusaha batu bara, penjualan ekspor dengan harga yang tinggi saat ini secara tidak langsung juga akan berimbas pada meningkatnya perolehan pendapatan melalui devisa bagi negara melalui ekspor komoditas tersebut.
“Meroketnya harga batubara sangat menguntungkan bagi Indonesia, menaikkan perolehan devisa bagi negara dan pengusaha meraub laba dalam jumlah sangat besar,” terang Fahmy.
Meski begitu, Fahmy tetap mengingatkan agar para pengusaha tetap bijak dalam melakukan kegiatan ekspor batu bara ditengah lonjakan harga batu bara dunia yang terjadi saat ini.
“Pengusaha batu bara jangan rakus dalam meraub keuntungan dengan mengekspor seluruh produksi, tanpa memasok batubara ke PLN (PT Perusahaan Listrik Negara) itu dapat menyebabkan krisis batubara di PLN seperti yang terjadi sebelumnya,” jelas Fahmy
Fahmy meminta para pengusaha agar tetap patuh dan memperhatikan kewajiban pemenuhan batu bara di dalam negerinya melalui DMO (Domestic Market Obligation) ke PLN. Dalam ketentuan DMO tersebut pengusaha wajib menjual batu bara-nya ke PLN sebesar 25% dari total produksi dengan harga US$70 per ton.
Sementara itu, untuk mencegah terjadinya krisis pasokan batu bara seperti yang sempat terjadi di awal tahun 2022 lalu, PLN saat ini sudah mengembangkan monitoring system yang terintegrasi dengan Kemeterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hasil monitoring itu nantinya akan menjadi dasar bagi Kementerian ESDM untuk menetapkan sejumlah sanksi baik berupa larangan ekspor, larangan produksi, ataupun pencabutan izin usaha bagi para pengusaha batu bara yang tidak patuh dalam pemenuhan DMO.
“Untuk itu, Kementerian ESDM harus berani menerapkan sanksi tegas bagi pengusaha yang abai terhadap ketentuan DMO, tanpa memperdulikan siapa pun pemilik perusahaan batubara tersebut,” tutup Fahmy.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Farhan Syah pada 07 Mar 2022