Kolaborasi Nasional untuk Pendidikan : Sampahmu, Sekolahku

Sabtu, 05 Juli 2025 11:50 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Nila Ertina

Kolaborasi Nasional untuk Pendidikan : Sampahmu, Sekolahku
Kolaborasi Nasional untuk Pendidikan : Sampahmu, Sekolahku (Foto Manda Dwi Lestari)

Oleh:  Manda Dwi Lestari*

DI balik tumpukan gunung sampah plastik yang kerap dianggap tak berharga. Tersimpan secercah harapan bagi mereka yang peduli pada masa depan generasi sekarang yang terpinggirkan.

Sampah bukanlah bagian akhir, melainkan menjadi awal dari perubahan besar. Di sinilah Gerakan Kolaborasi Nasional melalui sedekah sampah untuk pendidikan mengambil peran.

Sebuah langkah kecil namun, menjadi solusi nyata atas dua persoalan besar di Indonesia.

Salah satu tim Gerakan Kolaborasi Nasional dari perwakilan Rumah Tahfiz Yatim dan Dhuafa, Bayu Anggara menceritakan bahwa gerakan kolaborasi ini merespons dan menjadi solusi untuk permasalahan besar antara pendidikan dan lingkungan di Indonesia.

"Musnahkan dua permasalahan besar dengan satu langkah kecil, yaitu melalui sedekah sampah untuk pendidikan," kata Bayu Anggara di gedung Perpustakaan Kampus B Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Rabu (2/7/2025).

Baca Juga:

Bayu dan tim membuktikan bahwa sedekah bukan hanya dalam bentuk uang, limbah pun bisa menjadi ladang amal jariyah. Sebagaimana tagline gerakan ini “Sedekah jadi jariyah, limbah jadi berkah.

Dengan semangat sosial, semua komunitas didorong untuk tak sekadar buang sampah sembarangan, tapi mulai memilah dan menyumbangkannya.

"Kalau ada sampah plastik bisa dikumpulkan secara kolektif. Lalu, konfirmasi ke kami, nanti bisa dijemput. Limbah plastik yang dikumpulkan akan dipilah dan diolah secara manual hingga menjadi produk, seperti kursi, rekal Quran, dan benda serbaguna lainnya," jelas Bayu.

Kolaborasi bersinergi membangun pendidikan salah satunya Yayasan Sekolah Desa Quran. Dari yayasan tim sekolah, Hafizoh menceritakan awal mula gerakan pendidikan ini berangkat dari keresahan mendalam saat pandemi COVID-19.

Tahun 2020,  yayasan mendidik anak yatim dan dhuafa dalam bentuk rumah tahfiz. Membina anak-anak dari rumah tahfiz saja, ternyata belum cukup. Ada kesenjangan pendidikan begitu nyata saat pandemi. Anak-anak dari keluarga mampu tetap bisa belajar dalam jaringan (Daring) lewat aplikasi Zoom, sementara anak-anak dhuafa terhambat karena keterbatasan akses dengan tidak adanya gadget.

Melihat ketimpangan itu, lahirlah ide untuk membangun sekolah khusus bagi anak-anak yatim dan dhuafa. Bukan sekadar sekolah biasa, tapi sekolah berbasis Islam Terpadu, sekolah Islam Preneur Indonesia. Dengan membekali mereka hafalan Al-Qur’an dan nilai-nilai keagamaan yang kuat.

Sekolah ini mulai dirintis sejak 2021, melalui visi memberikan pendidikan yang layak untuk anak-anak yatim dan dhuafa dengan tagline "Sekolah Masa Depan Dhuafa Ada di Sini." Secara kurikulum, sekolah ini tetap mengikuti standar dari Dinas Kementerian Pendidikan.

Namun, ada kurikulum tambahan seperti tahsin dan tahfidz al-Qur'an. Tak hanya fokus pada akademik, anak-anak juga dibina agar menjadi penghafal Al-Qur’an dan belajar keagamaan lain seperti hadis, fikih, dan aqidah akhlak secara umum.

Kenalkan Pertanian

Menariknya, di jenjang SMP, siswa juga belajar tentang pertanian Islam. Sebuah program pendidikan yang menanamkan nilai kepemimpinan, manajemen waktu, dan kerja sama tim. Ada jadwal menyiram, perawatan tanaman, hingga masa panen.

Mulai Juli 2024, sekolah menerapkan program SPP sampah. Mereka tak sekadar mengenal tanaman, tapi juga membuat pupuk organik sendiri dari sampah, termasuk pupuk cair dan kompos. Hasil pupuk setiap tiga bulan dijual, 100 persen keuntungannya untuk mereka.

"Program Ini bukan hanya tentang menghasilkan uang, tapi menyadarkan mereka pentingnya ketahanan pangan. Di era sekarang yang sudah termasuk krisis pangan,” ungkap Hafizoh salah seorang pengajar.

Baca Juga:

Selain pendidikan di Indonesia, pertanian juga perlu diperhatikan. Hanya ada sedikit anak muda yang mau jadi petani. Stigmanya itu masih memandang bahwa petani bukan pofesi yang ideal. Padahal, tanpa petani, tidak ada pangan.

"Mereka jadi petani berdasi atau tidak, yang penting mereka paham tanggung jawab dan kebermanfaatan profesi ini. Jika tidak ada petani gimana keberlanjutan pangan kita," ujarnya.

Untuk jenjang SD, baru sebatas pengenalan tentang mencintai lingkungan. Siswa diajak mengenal tanaman, memahami pentingnya tidak memetik buah sembarangan, serta menjaga kebersihan lingkungan. Edukasi semacam ini penting, terutama di tengah masyarakat yang masih minim kesadaran terhadap sampah.

Gerakan ini terus tumbuh, terutama lewat kolaborasi. Tim Kolaborasi Nasional salah satu perwakilan dari Rumah Tahfidz Pinggiran, Ermawati menyatakan bahwa gerakan ini tidak bisa berjalan sendiri.

"Isu global seperti sampah dan pendidikan tidak bisa diselesaikan sendirian. Karena itu kami membangun kolaborasi antar lembaga dan komunitas, ayok kita gerak sama-sama," kata Ermawati.

Tahun 2022, menjadi tonggak lahirnya Rumah Tahfidz Pinggiran, bagian dari gerakan ini. Fokusnya tetap sama memberikan fasilitas dan akses pendidikan bagi generasi yang terpinggirkan, dengan pendekatan pendidikan agama dan kepedulian terhadap lingkungan.

Di tengah banyaknya kebijakan yang tak menyentuh akar masalah, gerakan sedekah sampah untuk pendidikan ini hadir sebagai contoh nyata bagaimana komunitas dan lembaga bisa bergerak bersama.

Di tangan orang-orang yang peduli, bahkan sampah pun bisa menyelamatkan masa depan Indonesia.

*Mahasiswi Prodi Jurnalistik, UIN Raden Fatah Palembang, 2023.