Scroll, Like, Tertipu: Bagaimana Kita jadi Korban Teater Politik di Era Digital

Kamis, 22 Mei 2025 19:12 WIB

Penulis:Nila Ertina

Yulion Zalpa
Yulion Zalpa (Dok.pribadi)

Oleh: Yulion Zalpa*

Dulu Baca Koran Sambil Ngopi, Sekarang Scroll Timeline Sambil Nyumpah

Era digital telah mengubah lanskap pembentukan opini publik secara fundamental. Jika sebelumnya informasi dikontrol oleh gatekeeper tradisional, seperti media massa konvensional, kini setiap individu dapat menjadi produsen dan konsumen informasi secara bersamaan. 

Platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok telah menciptakan ekosistem komunikasi yang bersifat interaktif dan viral, di mana opini publik dibentuk melalui proses yang lebih kompleks dan multidimensional.

Namun, kemudahan akses ini justru menciptakan paradoks baru dalam demokrasi Indonesia. Sementara demokratisasi informasi terjadi, manipulasi opini publik oleh elit politik juga semakin mudah dilakukan. 

Baca Juga:

Fenomena ini menjadi semakin kompleks ketika bertemu dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang cenderung mengonsumsi informasi secara dangkal dan emosional. 

Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan engagement menciptakan "echo chamber" atau "filter bubble", di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangan mereka, sehingga opini menjadi semakin terpolarisasi.

Elit politik dan opini Publik

Elit politik Indonesia telah beradaptasi dengan era digital dan mengembangkan berbagai strategi sophisticated untuk membentuk opini publik. Salah satu strategi utama adalah personalisasi dan intimasi digital, di mana para elit menggunakan media sosial untuk menciptakan kesan kedekatan dengan rakyat. 

Melalui konten yang bersifat personal, seperti foto keluarga atau aktivitas sehari-hari, mereka membangun citra yang lebih "manusiawi" dan dapat dipercaya. Strategi ini efektif karena menciptakan ilusi intimasi antara pemimpin dan rakyat, membuat kebijakan politik seolah-olah menjadi urusan personal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Politik digital di Indonesia juga sangat mengandalkan narasi emosional dan simbolik yang dapat menggerakkan massa. Penggunaan simbol-simbol agama, nasionalisme, atau identitas kelompok menjadi strategi yang efektif untuk memobilisasi dukungan. 

Konten yang membangkitkan emosi, baik itu kebanggaan, kemarahan, atau ketakutan, cenderung lebih viral dan berpengaruh dibandingkan diskusi kebijakan yang rasional. Elit politik juga memanfaatkan jaringan buzzer dan influencer untuk memperkuat narasi mereka, serta tidak jarang menggunakan praktik penyebaran disinformasi untuk membentuk opini negatif terhadap lawan politik. 

Informasi yang menyesatkan atau hoaks yang dikemas dengan menarik dan emosional dapat dengan mudah tersebar dan diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat yang tidak melakukan verifikasi.

Fenomena Konsumsi Kedangkalan

Fakta saat ini, dalam  masyarakat modern realitas telah digantikan oleh representasi atau spektakel, dan masyarakat lebih tertarik pada penampilan daripada substansi. Dalam konteks politik Indonesia, fenomena ini terlihat jelas ketika masyarakat seringkali lebih tertarik pada citra dan drama politik daripada substansi kebijakan. Skandal personal, konflik antar elit, atau momen-momen dramatis mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan pembahasan program kerja atau visi-misi politik.

Media sosial memperkuat kecenderungan konsumsi spektakel ini dengan memberikan reward berupa likes dan shares pada konten yang sensasional. Masyarakat Indonesia cenderung mengonsumsi informasi politik secara pasif dan reaktif, lebih sering bereaksi emosional terhadap informasi yang diterima daripada melakukan analisis kritis. 

Hal ini, diperparah oleh format konten media sosial yang mengutamakan pesan singkat dan visual yang menarik, sehingga kompleksitas isu politik tereduksi menjadi slogan atau meme. Karakteristik media digital yang menyajikan informasi dalam bentuk fragmen-fragmen pendek juga memengaruhi cara masyarakat memahami isu politik, di mana attention span yang semakin pendek membuat masyarakat sulit untuk mengikuti perkembangan isu secara komprehensif dan berkesinambungan.

Bagaimana Dampak dan Konsekuensi bagi Demokrasi Indonesia?

Mudahnya manipulasi opini publik di era digital telah menciptakan berbagai masalah serius bagi kualitas demokrasi Indonesia. Polarisasi politik semakin menguat karena masyarakat terjebak dalam echo chamber yang memperkuat bias konfirmasi. 

Penyebaran hoaks dan disinformasi merusak kualitas debat publik dan dapat memicu konflik sosial yang berbahaya bagi keharmonisan masyarakat. Fokus pada spektakel politik juga mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif yang seharusnya menjadi prioritas, seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.

Namun, di sisi lain, media digital juga memberikan dampak positif bagi demokrasi Indonesia. Akses informasi yang lebih mudah memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan perspektif yang beragam dan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada media mainstream. 

Media sosial juga memberikan ruang bagi suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi publik, termasuk kelompok minoritas, aktivis, dan masyarakat daerah.

Baca Juga:

Transparansi politik meningkat karena aktivitas elit politik dapat dipantau secara real-time oleh masyarakat, memungkinkan kontrol sosial yang lebih efektif. Beberapa faktor spesifik Indonesia memperparah masalah konsumsi informasi yang dangkal, termasuk tingkat literasi digital yang masih relatif rendah, budaya Indonesia yang lebih mengutamakan tradisi oral dan visual, serta keberagaman etnis, agama, dan sosial-ekonomi yang menciptakan fragmentasi yang dapat dieksploitasi.

Catatan Akhir

Pembentukan opini publik di era digital merupakan fenomena yang bersifat ambigu bagi demokrasi Indonesia. Di satu sisi, digitalisasi memberikan peluang demokratisasi informasi dan partisipasi politik yang lebih inklusif.

Di sisi lain, kemudahan manipulasi dan kecenderungan masyarakat mengonsumsi informasi secara dangkal menciptakan risiko bagi kualitas demokrasi. Society of spectacle telah menjadi realitas yang harus dihadapi, di mana masyarakat lebih tertarik pada drama dan sensasi politik daripada substansi kebijakan yang akan memengaruhi kehidupan mereka.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Pertama, peningkatan literasi digital masyarakat melalui program edukasi tentang cara memverifikasi informasi, memahami bias media, dan berpikir kritis terhadap konten digital. 

Kedua, diperlukan regulasi yang seimbang untuk mengendalikan penyebaran disinformasi tanpa membatasi kebebasan berekspresi, dengan fokus pada akuntabilitas platform media sosial. 

Ketiga, penguatan jurnalisme berkualitas dan investasi pada fact-checking untuk mengimbangi informasi yang beredar di media sosial. 

Keempat, diversifikasi sumber informasi dan pengembangan platform dialog konstruktif yang memungkinkan diskusi politik berbasis fakta. Hanya melalui upaya yang sistematis dan berkelanjutan, opini publik di era digital dapat dibentuk secara lebih sehat dan mendukung kualitas demokrasi yang lebih baik di Indonesia.

*Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik di Yogyakarta dan bergiat di Prospek (Pusat Riset Sosial, Politik, dan Kemasyarakatan )