Perempuan petani
Kamis, 25 September 2025 14:15 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
PALEMBANG, WongKito.co - Ketidakadilan perempuan petani untuk mendapatkan ruang di tengah masyarakat masih terjadi hingga hari ini, tidak terkecuali di Sumatera Selatan. Seperti yang disampaikan Ratu Ayu Putri Anjani, salah satu mahasiswi Universitas Indo Global Mandiri (UIGM) dalam talkshow kampus dalam peringatan Hari Agraria Nasional di UIGM Palembang, Kamis (25/09/2025).
“Hanya karena ibu saya perempuan, ia seperti dilangkahi dan tidak dilibatkan dalam penerimaan pupuk. Saya sebagai perempuan, sebagai anak petani, saya sedih atas pengalaman ibu saya,” tutur Ratu Ayu dalam sesi tanya jawab peserta.
Menanggapi pernyataan mahasiswi, Yui Zahana dari Solidaritas Perempuan Palembang selaku pembicara dalam talkshow mengungkapkan, diskriminasi terhadap perempuan memang masih banyak ditemukan apalagi di desa-desa. Penyebabnya adalah sistem atau budaya patriarki masih kuat, artinya seluruh penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) dikuasai kaum laki-laki.
“Saya juga banyak menemukan perempuan tidak dilibatkan di forum-forum desa. Kalaupun dilibatkan dalam Musrenbang desa, suara perempuan tidak dipertimbangkan, mereka ditempatkan di bagian konsumsi, sekedar pemenuhan kuota kepesertaan perempuan,” ujar Yui.
Menurutnya, perempuan harus berani mengungkapkan bahwa pupuk, tanah, dan lahan pertanian adalah hak rakyat, dan perempuan adalah bagian dari rakyat. Sebab diakui isu-isu ketidakadilan gender kerap menghampiri perempuan sebagai korban. Dari pengalaman pendampingan Solidaritas Perempuan Palembang, Yui menegaskan bahwa perempuan yang berjuang mempertahankan tanahnya juga menjadi persoalan kemanusiaan.
“Karena itu, kami mendorong reforma agraria yang adil gender, guna merumuskan kepemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber agraria yang adil bagi perempuan. Kesadaran ini harus mulai dibangun," kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumsel, Untung Saputra mengatakan, dalam pengorganisasian petani di pedesaan yang didampingi KPA selama ini selalu dipastikan adanya keterlibatan perempuan.
“Hal ini juga berkaitan dengan peran dan pengambilan keputusan dalam forum desa. Dengan begitu, hak dan kepentingan perempuan petani dapat dilindungi,” jelasnya.
Tuntut Reforma Agraria Adil Gender
Dalam memperingati Hari Tani Nasional atau Hari Agraria, Solidaritas Perempuan juga mengingatkan bahwa setelah lebih dari enam dekade, cita-cita Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 justru dikhianati oleh kebijakan negara yang melanggengkan ketimpangan dan memperparah perampasan ruang hidup rakyat.
Sebanyak 1% kelompok menguasai 68% tanah. Tanah dan sumber kehidupan rakyat dirampas atas nama investasi, proyek strategis nasional, dan proyek iklim yang diklaim demi kepentingan pembangunan. Kondisi ini bukan hanya meruntuhkan demokrasi, melainkan juga melahirkan lingkaran ketidakadilan, pemiskinan, eksploitasi, dan kerusakan lingkungan.
Dalam catatan Solidaritas Perempuan, perampasan tanah telah memaksa ribuan perempuan kehilangan ruang hidup melalui intimidasi, manipulasi hukum, penggusuran paksa, hingga pengerahan aparat. Semua ini dibungkus dengan dalih legalitas seperti “izin usaha”, “proyek strategis nasional”, atau “pembangunan demi kepentingan umum”, sebagaimana terjadi di PTPN VII Cinta Manis Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel.
Dampaknya tidak berhenti pada penggusuran, tetapi juga melahirkan krisis yang lebih luas, seperti krisis pangan yang mengancam keberlangsungan hidup rakyat, terutama perempuan yang dilekatkan dengan perannya sebagai penanggung jawab utama pangan keluarga. Padahal, dua kebutuhan ini merupakan kebutuhan paling mendasar, namun kini semakin sulit diakses.
Alih-alih melindungi rakyat, negara justru memperkuat praktik militerisme agraria dengan mengerahkan aparat untuk mengawal investasi, menggusur tanah rakyat, dan membungkam perlawanan. Petani, aktivis lingkungan, hingga perempuan pembela hak atas tanah tidak hanya diintimidasi, tetapi juga ditangkap dan dikriminalisasi.
Solidaritas Perempuan menegaskan, reforma agraria sejati tidak akan pernah terwujud tanpa keterlibatan perempuan dan pengakuan atas hak-hak perempuan.
Oleh karena itu, salah satu tuntutan Solidaritas Perempuan pada Hari Tani 2025 yakni menjalankan reforma agraria dengan menjadikan perempuan sebagai subjek dan memastikan partisipasi bermakna bagi perempuan dalam setiap perumusan kebijakan agraria dan pembangunan.
Kriminalisasi, Penegakan Hukum Tidak Berkeadilan
Ikhsan Yisarie peneliti SETARA Institute menyampaikan, isu agraria juga menyangkut masalah sekuritas. Menurutnya, keterlibatan aktor militer dalam sektor agraria dibuat semacam regulasi sehingga pemerintah menormalisasi peran militer di ranah sipil, seperti pangan, kesehatan, hingga MBG.
“Sekuritisasi memberi legitimasi aparat untuk terlibat pada urusan di luar pertahanan, di luar bidangnya,” ulasnya di UIGM Palembang.
Dia membenarkan, di sektor agraria militer teribat dalam bentuk kekerasan perlawanan rakyat petani, bahkan ke arah kriminalisasi aparat. Mengutip data kontraS, dari 52 kasus kekerasan aparat dalam sektor agraria dalam kurun waktu Juli 2023 - Juni 2024, kriminalisasi dan penangkapan sewenang-wenang termasuk yang paling banyak dilakukan aparat kepolisian.
Sementara itu, perwakilan Universitas IGM Palembang, Isabella mengatakan, digelarnya talkshow ini sebagai bentuk pengingat bahwa kampus perlu tahu persoalan yang dialami petani. Dengan begitu, bisa disusun strategi solusi masalah agraria. (yulia savitri)
3 hari yang lalu