Ragam
Infrastruktur yang Belum Merata Hambat Pertumbuhan Ekonomi Digital Indonesia
JAKARTA - Transformasi digital harus ditunjang oleh peningkatan masif dalam infrastruktur digital, penetrasi internet, dan penggunaan perangkat teknologi di masyarakat. Namun, ketimpangan akses digital antara wilayah maju dan terpencil menjadi tantangan besar bagi pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, dalam buku Outlook Ekonomi Digital 2025 memaparkan bahwa ketimpangan infrastruktur digital antara Pulau Jawa dan wilayah lain seperti Maluku, Papua, serta Bali-Nusa Tenggara, masih sangat signifikan. Ini menjadi salah satu penghambat utama pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif.
Ketimpangan Akses Sinyal di Indonesia
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, sebanyak 90,63% desa di Pulau Jawa telah memiliki akses sinyal telepon seluler yang kuat. Sementara itu, wilayah Maluku dan Papua hanya mencatatkan angka 33,35% untuk desa yang memiliki akses serupa.
Baca Juga:
- Aset Kripto di Indonesia Melonjak Capai Rp556,53 Triliun
- Nasabah BRI, Hindari APK Ilegal demi Privasi dan Keamanan Data Anda
- Cabai Merah dan Telur Ayam Penyumbang Utama Inflasi, Simak Yuk Penjelasan BPS Sumsel
Di sisi lain, Bali dan Nusa Tenggara mengalami penurunan persentase desa dengan akses sinyal kuat, dari 68,38% pada 2020 menjadi 68,03% pada 2021.
“Perbedaan infrastruktur jaringan, jarak geografis, serta kebijakan pembangunan menjadi penyebab utama ketimpangan ini. Jika tidak segera ditangani, hal ini dapat memperburuk ketimpangan ekonomi antara wilayah maju dan tertinggal di Indonesia,” ujar Nailul dikutip dari buku Outlook Ekonomi Digital 2025, Jumat, 3 Januari 2025.
Penurunan Pilar Infrastruktur dan Ekonomi Digital
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengukur kesiapan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi digital melalui Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI). Namun, pada tahun 2024, pilar infrastruktur dan ekonomi digital dalam IMDI turun menjadi 52,7 dari 57,09 pada tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan infrastruktur digital yang belum merata.
Menurut Nailul, penurunan ini juga disebabkan oleh rendahnya rata-rata kecepatan internet di Indonesia, yaitu hanya 29,4 Mbps. “Angka ini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Vietnam dengan 44,41 Mbps dan Malaysia yang mencapai 106,94 Mbps,” jelasnya. Selain itu, Indonesia berada di peringkat 83 dari 111 negara menurut Speedtest Global Index 2024, jauh di bawah rata-rata kecepatan internet dunia yang mencapai 55,8 Mbps.
Baca Juga: Tantangan Program Kredit Milenial di Era Prabowo untuk Keberlanjutan Ekonomi Digital
Pentingnya Literasi Digital untuk Ekonomi Digital
Selain infrastruktur, literasi digital masyarakat Indonesia juga menjadi perhatian. Indeks Literasi Digital Indonesia pada tahun 2022 mencatatkan kenaikan tipis dari 3,48 menjadi 3,54. Namun, pilar keamanan digital masih menjadi yang terendah.
“Minimnya literasi keamanan digital menyebabkan masyarakat rentan terhadap ancaman seperti phishing, malware, dan peretasan. Infrastruktur keamanan siber juga belum memadai untuk melindungi pengguna dari ancaman ini,” ujar Nailul.
Literasi digital yang rendah tidak hanya berimplikasi pada keamanan, tetapi juga memengaruhi partisipasi masyarakat dalam ekonomi digital. “Ekonomi digital menyumbang 25% terhadap perekonomian global. Untuk meningkatkan partisipasi, masyarakat perlu didukung dengan literasi digital yang memadai,” tambahnya.
Kesenjangan Literasi Keuangan
Dalam konteks ekonomi modern, literasi digital berkaitan erat dengan literasi keuangan. Literasi keuangan Indonesia, menurut laporan OECD 2023, hanya mencetak skor 57, di bawah rata-rata negara-negara OECD yang mencapai 63.
“Literasi keuangan yang rendah mengakibatkan individu kurang mampu mengelola risiko keuangan, seperti investasi bodong dan tingginya konsumsi tanpa tabungan. Hal ini diperparah dengan minimnya pendidikan keuangan formal di Indonesia,” kata Nailul.
Skor financial knowledge Indonesia hanya mencapai 9, yang merupakan salah satu penyebab rendahnya kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan keuangan yang bijaksana.
Nailul menambahkan, “Kondisi ini juga berdampak pada ketimpangan akses pembiayaan, di mana wilayah di luar Pulau Jawa hanya menerima akumulasi pinjaman sebesar Rp188,45 triliun sejak 2022, jauh tertinggal dari Pulau Jawa yang mencapai Rp737,31 triliun.”
Tantangan pada Pinjaman Daring
Platform pinjaman daring (peer-to-peer lending) berpotensi menjadi solusi pembiayaan untuk UMKM. Namun, distribusinya masih terpusat di Pulau Jawa akibat perbedaan tingkat literasi keuangan dan digital.
“Kurangnya edukasi mengenai fintech di luar Jawa menyebabkan masyarakat belum sepenuhnya memahami manfaat dan risiko pinjaman daring. Padahal, pinjaman ini dapat mendukung UMKM dalam berinovasi dan mengembangkan usaha,” jelas Nailul.
Tingkat Wanprestasi Pinjaman 90 hari (TWP 90) juga menjadi indikator penting dalam pinjaman daring. Pada puncak pandemi COVID-19, TWP 90 Indonesia mencapai 8,88%, namun menurun menjadi 2,54% pada Juli 2024.
Baca Juga:
- Simak, Berikut Aturan Bagasi di Kereta Api
- Musim Durian Telah Tiba! ini 5 Lokasi Tempat Berburu Buah Berduri di Palembang
- BRI Jadi Salah Satu Perusahaan yang Masuk Daftar Best Employers Asia Pacific 2025
Nailul menyatakan, “Penurunan ini menunjukkan perbaikan dalam pengelolaan risiko oleh platform fintech, tetapi edukasi tetap diperlukan untuk mengurangi potensi kredit macet di masa depan.”
Solusi untuk Meningkatkan Ekonomi Digital
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, Nailul merekomendasikan beberapa langkah strategis:
- Pemerataan Infrastruktur Digital: Pemerintah perlu meningkatkan investasi pada infrastruktur digital di wilayah terpencil untuk mendukung inklusi digital.
- Edukasi Literasi Digital dan Keuangan: Program literasi harus ditingkatkan, terutama di daerah yang aksesnya masih terbatas, untuk mendukung masyarakat dalam memanfaatkan teknologi dengan bijak.
- Penguatan Regulasi Keamanan Siber: Infrastruktur keamanan siber perlu diperkuat untuk melindungi masyarakat dari ancaman digital.
- Peningkatan Kecepatan Internet: Penyedia layanan internet harus didorong untuk meningkatkan kualitas layanan guna mendukung produktivitas masyarakat.
Menurut Nailul, “Infrastruktur dan literasi digital adalah kunci untuk menciptakan ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk mewujudkan hal ini.”
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 03 Jan 2025