Inspirasi Kasepuhan Gelar Alam: Swasembada Pangan yang Menjaga Alam

Leuit adalah lumbung padi tradisional, terutama dikenal di kalangan masyarakat Sunda dan Baduy, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan pengawetan padi hasil panen. (ist/trenasia)

JAKARTA, WongKito.co - Desa Adat atau Kasepuhan Gelar Alam adalah contoh nyata bahwa program swasembada pangan bisa dibangun dari sistem kecil masyarakat, yakni desa. Imajinasi swasembada nasional barangkali tidak harus diwujudkan dengan membuka lahan besar-besaran yang terkonsentrasi di sejumlah titik. 

Seperti yang saat ini sedang berlangsung, program food estate dirancang sebagai kawasan terpadu yang menggabungkan aktivitas pertanian, peternakan, dan perikanan dalam skala besar. 

Menurut data Kementerian Pertanian, pemerintah telah mengembangkan food estate di tiga lokasi utama, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Provinsi Papua, dengan total luas lahan mencapai 165.000 hektare. Di Provinsi Kalimantan Tengah, misalnya, lahan food estate mencapai 30.000 hektare.

Kendati bertujuan baik, pembukaan lahan food estate memiliki jejak konflik dengan masyarakat setempat, juga kerugian akibat pengalihan hutan menjadi lahan pertanian. Padahal, Indonesia punya contoh sejumlah desa yang bisa mencapai swasembada pangan dengan cara tradisional dan sesuai dengan kearifan lokal daerah masing-masing. 

Misalnya saja masyarakat adat di Baduy dan Kasepuhan Gelar Alam atau yang dahulu bernama Kasepuhan Ciptagelar. Kali ini, TrenAsia akan membahas spesifik mengenai keberhasilan Kasepuhan Gelar Alam dalam mengelola sistem ketahanan pangan. 

Sejarah dan Identitas Budaya

Di tengah himpitan krisis pangan, degradasi lingkungan, dan dominasi pertanian industri, Desa Adat Kasepuhan Gelar Alam di jantung Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat, menyuguhkan sebuah ironi yang indah. 

Masyarakat yang hidup dalam kearifan tradisi justru berhasil menciptakan ketahanan pangan berkelanjutan tanpa merusak alam. Kasepuhan Gelar Alam bukan sekadar desa, melainkan bagian dari sistem adat masyarakat Kasepuhan, yang berarti "orang tua" atau "leluhur" dalam Bahasa Sunda. 

Desa ini dibentuk pada tahun 2001 sebagai pemekaran dari wilayah Kasepuhan Ciptarasa. Walau usianya masih relatif muda secara administratif, Kasepuhan Gelar Alam merupakan kelanjutan dari tradisi leluhur yang telah hidup ratusan tahun. 

Dipimpin oleh seorang Abah (pemimpin adat) yang dipilih berdasarkan garis keturunan dan spiritualitas, masyarakat Ciptagelar memegang teguh prinsip pikukuh karuhun atau menjalankan hidup sesuai petunjuk para leluhur. Dalam falsafah hidup mereka, alam bukan untuk dieksploitasi, tetapi untuk dijaga dan dijadikan mitra hidup.

Letak Geografis dan Kekayaan Alam

Kasepuhan Gelar Alam berada di ketinggian sekitar 1.050 meter di atas permukaan laut, dikelilingi hutan lebat dan aliran sungai yang jernih. Akses ke sana tidak mudah, dengan jalanan berbatu dan sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan 4x4. Namun, keisolasian ini justru menjadi anugerah. Alam tetap lestari, air mengalir melimpah, dan udara bersih dari polusi.

Ekosistem hutan di sekitar desa menjadi lumbung oksigen sekaligus penopang siklus air yang stabil, penting bagi pertanian padi yang mereka andalkan. Desa ini dikelilingi lahan subur yang ditanami berbagai jenis padi lokal tanpa pupuk kimia dan pestisida buatan.

Sistem Pertanian yang Menjaga Alam

Pilar utama ketahanan pangan Kasepuhan Gelar Alam adalah sistem pertanian tradisional berbasis huma (ladang) dan leuit (lumbung). Setiap rumah memiliki lumbung pribadi, dan desa juga memiliki leuit kolot (lumbung bersama) sebagai cadangan pangan.

Petani Kasepuhan Gelar Alam hanya menanam satu kali dalam setahun, mengikuti perhitungan penanggalan adat. Mereka percaya bahwa menanam berlebihan bisa mengganggu keseimbangan alam dan mempercepat kerusakan tanah. Padi yang ditanam tidak dijual, tetapi hanya untuk konsumsi. Sebagai gantinya, kebutuhan hidup lain dicukupi dengan hasil bumi, kerajinan, atau barter.

Uniknya, mereka memiliki lebih dari 300 varietas padi lokal yang disimpan dan diwariskan turun-temurun. Padi-padi ini tahan hama secara alami, punya rasa yang khas, dan memiliki nilai gizi tinggi.

Teknologi dan Modernitas yang Disaring

Meskipun sangat tradisional, Kasepuhan Gelar Alam bukan anti-teknologi. Di bawah kepemimpinan Abah Ugi Sugriwa Rakasiwi, yang juga mewarisi jabatan sebagai Abah sejak 2001, masyarakat membuka diri pada teknologi, namun dengan seleksi ketat.

Mereka mengembangkan Radio Swara Ciptagelar dan Ciptagelar TV, media komunitas yang menyuarakan nilai-nilai adat dan informasi penting dalam Bahasa Sunda. Internet digunakan untuk dokumentasi adat dan edukasi masyarakat luar, namun tidak untuk konsumsi hiburan massal yang dianggap mengikis nilai budaya.

Di bidang energi, Kasepuhan Gelar Alam memanfaatkan pembangkit listrik mikrohidro dari aliran sungai sekitar desa. Energi ini mencukupi kebutuhan listrik seluruh desa, termasuk untuk menggerakkan alat-alat penunjang produksi pertanian seperti penggiling padi.

Ketahanan Pangan yang Menginspirasi

Dalam dunia yang dilanda kekhawatiran krisis pangan dan degradasi lingkungan, Kasepuhan Gelar Alam justru menunjukkan arah sebaliknya. Mereka tidak mengenal istilah rawan pangan, karena prinsip hidup mereka mengedepankan kecukupan, bukan kelebihan.

Sistem simpan padi di lumbung selama bertahun-tahun membuat cadangan pangan mereka stabil. Tidak ada pemborosan, tidak ada limbah pertanian sintetis. Hasil panen selalu dikembalikan sebagian ke tanah, sebagian disimpan, dan sebagian untuk konsumsi, sebuah sistem ekonomi sirkular ala adat.

Hikmah untuk Dunia Modern

Kasepuhan Gelar Alam menjadi bukti bahwa tradisi dan teknologi bisa berdampingan tanpa saling meniadakan. Di saat banyak masyarakat bergantung pada impor pangan dan pupuk kimia, Kasepuhan Gelar Alam justru memperlihatkan bahwa kemandirian pangan bisa lahir dari keselarasan dengan alam dan pengelolaan sumber daya yang bijak.

Mereka tidak menolak perubahan, tetapi menyaringnya sesuai kebutuhan dan nilai. Prinsip ini tidak hanya menjamin keberlanjutan ekologi, tetapi juga ketenangan sosial dan spiritual warga desa.

Kasepuhan Gelar Alam bukan hanya warisan budaya Sunda, tapi juga laboratorium hidup untuk dunia yang sedang mencari jalan keluar dari krisis pangan dan iklim. Di balik kesederhanaannya, desa ini menyimpan jawaban penting: bahwa masa depan mungkin justru ada pada akar, bukan pada beton dan mesin.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Ananda Astri Dianka pada 19 Juni 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories