Packaging Hanya Pemancing, UMKM Tetap Butuh Label Halal, Legal, dan Loyalitas Konsumen

UMKM kerajianan tangan di Rest Area Heritage KM 260B Banjaratma. Proyek ini digarap oleh PT PP Sinergi Banjaratma, anak usaha PT PP (Persero) Tbk. (TrenAsia/Debrinata)

JAKARTA, WongKito.co – Di era ekonomi digital yang serba visual, kemasan produk alias packaging aesthetic memang jadi ujung tombak pertama dalam menarik perhatian konsumen.

Menurut Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny hal tersebut, baru pemancing awal. Konsumen saat ini makin pintar dan kritis. Menurutnya mereka tak hanya membeli karena ‘lapar mata’, tapi juga mempertimbangkan aspek legalitas, rasa, hingga reputasi jangka panjang produk tersebut.

"Orang beli itu lihat dari mata dulu. Kadang nggak niat beli, tapi lihat kemasannya menarik, jadi penasaran. Tapi setelah itu, pertimbangan lanjutannya adalah ini halal nggak? Legal nggak? Ada sertifikasinya? Terutama buat produk makanan dan minuman," ujarnya kepada TrenAsia.id pada Rabu, 25 Juni 2025.

Hal ini menunjukkan bahwa packaging bukan satu-satunya senjata ampuh untuk meningkatkan omzet. Konsumen saat ini sudah melek terhadap standar kualitas bukan cuma dari segi estetika, tapi juga keamanan dan kenyamanan.

Bahkan, sertifikasi halal kini menjadi faktor penting yang dicari, tak hanya oleh konsumen m, tapi juga non-muslim yang memandang label halal sebagai jaminan kebersihan dan proses yang higienis.

Persaingan Ketat dengan Produk Impor

Di sisi lain, UMKM lokal menghadapi tantangan besar dari produk impor murah yang membanjiri pasar e-commerce. 

"Sekarang coba cari baju bayi di marketplace, bisa dapat yang Rp10.000-Rp15.000, padahal produk lokal nggak bisa bikin dengan harga segitu. Ini membunuh pelaku usaha kecil yang kualitasnya belum bisa disandingkan tapi semangatnya tinggi." Jelasnya

Ia menyarankan adanya regulasi yang membatasi atau mengatur masuknya produk luar negeri, seperti yang dilakukan negara lain. "Di China, produk impor dikenai pajak tinggi. Sementara kita? Produk dari luar bebas masuk, bersaing langsung di e-commerce dengan produk UMKM lokal. Pemerintah harus hadir, jangan tinggal diam."

Lebih dari Sekadar Estetik: Rasa, Layanan, dan Kepercayaan

Dalam jangka panjang, loyalitas konsumen akan ditentukan oleh rasa dan pengalaman mereka terhadap produk. "Kalau rasa dan kualitasnya enak, pengemasan rapi, pelayanan cepat, dan konsisten—pasti konsumen balik lagi. Itulah yang bikin bisnis UMKM bisa bertahan lama." katanya

Kemajuan teknologi juga membuka peluang bagi UMKM untuk promosi lintas platform. Dari WhatsApp status, Instagram story, hingga e-commerce. Tapi itu pun tak cukup bila pelaku usahanya pasif. "Kalau cuma upload produk di e-commerce lalu diam, ya nggak laku. Harus aktif promosi, berani menawarkan ke orang, jangan malu. Ini bukan ngemis, tapi usaha."

Ia juga menyoroti perlunya edukasi menyeluruh kepada pelaku UMKM agar melek standar produk. Termasuk kesadaran pentingnya mencantumkan tanggal kedaluwarsa, terutama untuk produk kemasan. “Kasus yang kemarin itu lho, yang dilaporin karena nggak ada label tanggal kadaluarsa. Itu karena memang banyak yang belum paham, perlu edukasi. Negara harus turun tangan kasih pendampingan, bukan cuma sanksi.”

Adapun, di tengah gempuran produk impor dan ekspektasi konsumen yang makin tinggi, UMKM lokal dituntut naik kelas. Tak cukup hanya cantik di kemasan, tapi juga harus legal, halal, dan konsisten dalam kualitas. Di sinilah strategi dan dukungan regulasi memainkan peran penting dalam membentuk UMKM yang tangguh dan kompetitif.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Debrinata Rizky pada 26 Juni 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories