Perjalanan Heroik Aktivis Muda Greta Thunberg

Greta berada di atas kapal yang membawa bantuan kemanusiaan untuk Palestina. (ist/instagram greta thunberg)

GAZA – Nama Greta Thunberg kembali menggema di media internasional. Aktivis iklim asal Swedia tersebut ditangkap oleh militer Israel setelah ikut dalam misi kemanusiaan ke Gaza, Senin (09/06/2025).

Greta berada di atas kapal Madleen, yang dioperasikan oleh Freedom Flotilla Coalition (FFC), saat kapal tersebut dihentikan oleh pasukan Israel di perairan internasional.

Kapal itu membawa bantuan kemanusiaan berupa makanan, susu formula bayi, dan perlengkapan medis untuk warga Palestina di Jalur Gaza yang terisolasi akibat blokade. Israel mengklaim bahwa pencegatan ini merupakan bagian dari "penegakan hukum atas blokade laut" yang mereka berlakukan.

Keberadaan Greta di atas kapal menjadi sorotan dunia. Remaja yang memulai gerakan Fridays for Future pada usia 15 tahun itu dikenal lantang menyuarakan isu-isu lingkungan dan keadilan sosial.

Kini, ia berdiri bersama mereka yang terdampak perang dan blokade, mempertaruhkan kebebasannya demi menyuarakan kepedulian terhadap kemanusiaan.

Dari Mogok Sekolah ke Panggung Dunia

Greta memulai perjalanannya sebagai aktivis pada Agustus 2018, dengan mogok sekolah seorang diri di depan parlemen Swedia. Dengan membawa poster bertuliskan “School Strike for Climate”, ia memprotes ketidakpedulian pemerintah terhadap krisis iklim. Tindakan sederhana itu menyulut gelombang aksi pelajar di seluruh dunia dan melahirkan gerakan Fridays for Future.

Dalam waktu singkat, Greta menjelma menjadi ikon global gerakan iklim. Pada 20 September 2019, lebih dari 4 juta orang di lebih dari 160 negara turun ke jalan dalam aksi Global Climate Strike, menjadikannya demonstrasi iklim terbesar sepanjang sejarah.

Ia berbicara di berbagai forum penting seperti PBB, COP25, dan pertemuan ekonomi dunia, dengan nada tegas yang mengecam para pemimpin atas janji-janji kosong mereka terhadap penyelamatan bumi.

Salah satu kutipannya yang terkenal berbunyi, “Kalian telah mencuri mimpi dan masa mudaku dengan janji kosong kalian.”

Hidup dalam Prinsip dan Tekad

Greta menjalani hidup dengan konsistensi terhadap nilai-nilai yang ia perjuangkan. Ia menolak naik pesawat karena dampaknya terhadap emisi karbon, dan memilih menyeberangi Samudra Atlantik dengan kapal layar untuk menghadiri konferensi iklim di Amerika Serikat. Ia juga menjadi vegan, dan bahkan berhasil membujuk orang tuanya untuk melakukan hal yang sama demi keberlanjutan lingkungan.

Meski didiagnosis mengidap sindrom Asperger, Greta menganggap kondisinya itu sebagai kekuatan, karena memungkinkannya untuk fokus dan berpikir jernih terhadap isu-isu yang ia yakini penting.

Sindrom Asperger merupakan salah satu kondisi dalam spektrum autisme yang ditandai dengan kesulitan dalam interaksi sosial dan komunikasi, namun tanpa gangguan dalam kemampuan bahasa atau intelektual. Penderitanya biasanya memiliki minat yang sangat kuat dan pola pikir yang detail. Dalam kasus Greta, ia memiliki ketertarikan mendalam terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim.

Inspirasi di Berbagai Belahan Dunia

Di Indonesia, nama Greta sempat disebut oleh Anies Baswedan saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam salah satu forum, Anies memuji Greta sebagai contoh nyata bahwa satu suara bisa menggugah dunia. Ia menekankan pentingnya partisipasi generasi muda dalam isu-isu strategis seperti perubahan iklim, dan menyebut semangat aktivisme Greta sebagai inspirasi.

Kini, remaja yang pernah mengguncang dunia lewat aksi damainya kembali menjadi sorotan, namun dalam konteks yang berbeda: ia ditangkap karena membela rakyat Gaza.

Info terkini, dia dideportasi

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada10 Juni 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories