Festival Perahu Bidar 2025
Rabu, 17 September 2025 06:30 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
PALEMBANG, WongKito.co - Perahu bidar milik Ncik Muhammad Alaudin menjadi andalan dalam Festival Perahu Bidar Tradisional 2025 di Sungai Musi dalam rangka HUT RI ke-80 lalu. Perahu cepat khas Palembang itu melaju lebih unggul dari perahu bidar lainnya di puncak final, Minggu (17/08/2025).
Ratusan warga yang menonton di kawasan wisata Benteng Kuto Besak (BKB) bersorak serta bertepuk tangan di tengah terik hari itu. Kegembiraan juga tampak dari tim pendayung yang mengangkat dayung tinggi-tinggi tanda kemenangan. Upaya keras mereka mendayung berbuah hasil menjadi juara pertama.
Bukan hanya faktor kegigihan dan kekompakan, perahu bidar yang mereka bawa memang teruji ketangguhan dan ketahanannya meski sudah berumur hampir 10 tahun. Menurut Alaudin atau disapa Jaka (44), perahu bidar dapat bertahan lama tergantung bagaimana perawatannya.
Jaka adalah penggiat perahu bidar dari Kelurahan 35 Ilir Palembang. Dia menjadi generasi ketiga di keluarganya yang menjaga tradisi perahu bidar, mendayung bidar saat muda, dan kini mendorong anak-anak muda di kampung 35 Ilir menjadi pendayung tradisional. Dia juga melanjutkan warisan keterampilan membuat perahu bidar. Perahu bidar yang dilombakan pada festival ini adalah buatan Jaka dan komunitasnya pada tahun 2016.
Lalu, bagaimana Jaka merawat perahu bidar agar tetap tangguh? Selepas mengikuti Festival Perahu Bidar Tradisional 2025, perahu bidar kembali disimpan agar dapat digunakan di ajang lomba tahun depan. Jaka dan Komunitas Perahu Bidar bernama Tatang Group menempatkan perahu bidar kebanggaan itu di pondok pangkalan yang dibangun seperti rumah panggung di tepian sungai.
Terpantau, rumah bidar yang bertempat di kawasan 35 Ilir itu diberi atap seng. Ukuran rumahnya menyesuaikan ukuran dari perahu bidar. Diketahui, panjang perahu bidar sekitar 31 meter, lebar 1,2 meter, dan tinggi 66-70 centimeter. Kayu-kayu panjang menjadi tiang penyangga rumah bidar.
Ada katrol besi di tengah rumah bidar. Jaka menjelaskan, katrol itu digunakan untuk menaikkan perahu bidar lebih tinggi kalau air sungai sedang pasang. Adapun untuk menurunkan kembali perahu bidar, dipakai gedebong pisang yang dipotong guna memudahkan mendorong perahu ke arah sungai. Untuk mengangkat perahu bidar ini butuh tenaga kurang lebih 30 orang.
“Beginilah cara kami merawat perahu bidar. Beratap agar tidak kena hujan dan panas, diangkat tinggi agar tidak cepat rusak karena air pasang sungai. Beda dengan daerah lain yang disimpan dengan membalikkan bidar,” jelas Jaka menunjukkan rumah bidarnya, Selasa (26/08/2025).
Rumah bidar dibangun atas bantuan Pertamina RU III yang menjadi sponsor komunitasnya saat lomba bidar tahun 2009. Adapun, untuk perawatan selanjutnya Jaka tetap harus merogoh kocek sendiri. Dia berharap ada bantuan dana ke depannya. Mengingat, perawatan perahu bidar tidak kecil. Dibutuhkan biaya sekitar Rp6-7 juta pertahun. Kegunaan biaya itu untuk mengganti atap ataupun tiang penyangga rumah bidar yang rusak karena cuaca dan air pasang. Apalagi lokasi lahan rumah bidar saat ini masih berstatus sewa.
Jaka mengingat, Dinas Pariwisata Kota Palembang pernah memberikan bantuan perawatan perahu bidar sebesar Rp5 juta pertahun selama tiga tahun berturut-turut. Hanya saja, tahun 2018 bantuan itu dihentikan karena aturan baru Pemkot Palembang. Adapun pihak swasta ataupun BUMN/BUMD hanya sebatas sponsor ketika menjelang lomba.
Dana sponsor inilah yang digunakan untuk reparasi perahu bidar, seperti pengecatan ulang dan perbaikan sekat tempat duduk perahu apabila ada yang rusak. Seperti tahun ini, sponsor dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Palembang digunakan untuk perbaikan yang lumayan banyak dilakukan, lantaran pada perlombaan tahun lalu perahu bidar Jaka menabrak perahu penonton yang masuk dalam lintasan lomba.
Terkait hadiah sebagai juara pertama, Jaka menuturkan, uang senilai Rp25 juta tidak cukup untuk perawatan perahu bidar. Hadiah itu masih harus dipotong pajak, lalu akan dibagikan kepada 57 pendayung, termasuk juru batu dan juru timbo.
Masing-masing menerima sekitar Rp170 ribu perorang. Angka ini saja tentu tidak sesuai dengan perjuangan mendayung sejauh 800 meter atau selama 4 - 7 menit. “Kalau bisa hadiah ditingkatkan di tahun-tahun depan, kami bertahan karena sadar bahwa bidar adalah tradisi dari nenek kami,” imbuhnya.
Butuh Bahan Baku dan Regenerasi
Siapa sangka, perahu bidar milik Jaka sudah menjadi barang langka di Kota Palembang. Saat ini, di Provinsi Sumatera Selatan hanya tersisa 10 unit perahu bidar; dua unit milik Jaka di Palembang dan delapan unit lainnya milik warga di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir.
Ia mengakui, saat ini sudah mulai sulit untuk membuat perahu bidar yang baru. Hal itu terkendala di bahan baku. Untuk satu perahu bidar butuh lima batang kayu dengan ukuran 5,5 kubik dan panjang lebih dari 10 meter. Sementara kayu yang ada di Palembang umumnya tidak terlalu panjang.
Selain itu, perlu biaya besar untuk mendapatkan kayu panjang berkualitas seperti jenis merawan, balem, rengas, dan bungur, karena akhirnya harus dibeli dari daerah lain seperti Kabupaten Muara Enim dan Ogan Ilir. “Di Palembang langka, kayunya tidak ada,” ungkap dia.
Disinggung besaran biaya pembuatan baru perahu bidar, Jaka merinci Rp75 juta untuk fisik perahu ditambah Rp6 juta untuk ratusan dayungnya. Pembuatan rumah bidar sekitar Rp12 juta, belum termasuk biaya upah Rp6jutaan. “Hampir Rp100 juta biaya membuat baru,” sebutnya.
Apabila ada perhatian dari Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang untuk kebutuhan bahan baku ini, Jaka memastikan, akan dapat menambah jumlah unit perahu bidar sekaligus memberdayakan para pendayung di Palembang. Mengingat, sejumlah kampung di tepian Sungai Musi memiliki potensi pendayung tradisional, misalnya di Kecamatan Gandus, Keramasan Kertapati, dan 15 Ulu.
“Kalau memang nanti ada upaya pemenuhan bakan baku dari Wali Kota Palembang, pendayung tradisional tentu dapat memiliki perahu bidar sendiri. Kami di 35 Ilir siap membuatkan perahunya, biar tradisi bidar terus ada,” cetus Jaka yang sudah membuat lima unit bidar sejak tahun 2002.
Di tempat yang sama, pengrajin perahu bidar tradisional Palembang lainnya, Joni (51) membenarkan, untuk membuat satu bidar butuh beberapa jenis kayu seperti rengas, bungur, dan merawan. Biasanya, kayu-kayu dipesan khusus dari kabupaten, lalu dibawa ke kampung 35 Ilir Palembang untuk dibuat perahu. Ongkos dan harga kayu yang mahal menjadi alasan tidak semua pengrajin bisa membuat perahu baru.
“Perahu ini (bidar milik Jaka) dominan kayu merawan,” katanya yang sudah menjadi pembuat perahu selama 21 tahun.
Sebagai penerus dari tradisi pembuatan perahu bidar, Joni meyakinkan dirinya dan rekan-rekan pengrajin perahu bidar akan terus bertahan melanjutkan ke anak cucu. Meski tidak ada buku panduan teknisnya, warisan tradisi ini diupayakan tetap lestari. “Sayang kalau tradisi dari puyang (nenek) tidak diteruskan,” kata dia.
Dibincangi terpisah, Sejarawan Palembang Kemas Ari Panji mengatakan, FGD yang digelar Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI Sumsel sejak dua tahun terakhir diharapkan dapat menumbuhkan perhatian dan kepedulian terhadap pelestarian tradisi perahu bidar. Apalagi masih ada tantangan yang dihadapi warga-warga penjaga tradisi ini.
Dia meyakinkan bahan baku untuk pembuatan perahu bidar sebenarnya masih bisa didapatkan, hanya saja biayanya mahal. Diperkirakan satu batang kayu bisa didapatkan lebih dari Rp8-10 juta. Sementara dibutuhkan banyak batang kayu untuk membuat satu unit perahu bidar beserta puluhan dayungnya. Sehingga solusi saat ini hanya dengan memanfaatkan dan merawat yang ada.
“Karena itu, perlu ada stimulan atau bantuan dari pihak berkepentingan seperti pemerintah melalui dinas terkait, BUMN/BUMD, ataupun swasta sebagai sponsor. Kendala utamanya adalah materi uang, dibutuhkan dana besar. Perahu bidar tersisa juga perlu dirawat agar tidak hancur,” terangnya di arena budaya Festival Perahu Bidar Tradisional 2025, Minggu (17/08/2025).
Tidak hanya itu, Ari Panji mengingatkan perlunya regenerasi pembuat perahu bidar. Kebudayaan lokal makin lama makin hilang karena umumnya tradisi budaya dianggap tidak menguntungkan dari sisi ekonomi. Untuk itu, perlu ditanamkan nilai-nilai bahwa menjadi pembuat perahu bidar, pendayung, atau pengukir kayu adalah sebuah kebanggaan.
“Pengrajin perahu bidar harus menurunkan pengetahuan tradisi itu ke generasi berikutnya, jangan disimpan sendiri. Tentu ini perlu juga difasilitasi pemerintah, misalnya dengan menggelar pelatihan pembuatan perahu bidar yang diikuti anak-anak muda,” imbaunya.
Tantangan selanjutnya, lanjut dia, perlu ada kemauan yang sungguh-sungguh untuk pelestarian bidar diikuti dukungan dananya. Pemerintah mesti membuat program khusus dengan anggaran yang jelas, lalu pihak swasta juga perlu mendukung melalui CSR. “Selama ini belum dianggarkan meski kita sudah berteriak (mendorong) ke pemerintah. Mudah-mudahan tahun ini bisa terwujud.”
Dijelaskannya, bidar merupakan kepanjangan dari kata biduk (perahu) lancar yang bermula sebagai perahu patroli pencalang di masa kesultanan. Perahu itu bergerak cepat dan segera saja menghilang dari pandangan. Lalu, perahu bidar mulai dilombakan pada masa kolonial Belanda sebagai bentuk perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Sejak merdeka, lomba bidar tetap dilaksanakan tapi untuk perayaan kemerdekaan dan terus berlanjut sebagai tradisi hari ini.
Sementara itu, Soleh (80), warga tua Kelurahan 32 Ilir Palembang mengungkapkan, kehidupan warga di tepian Sungai Musi sejak dulu memang tidak jauh dari perahu. Sejak kecil dia melihat sendiri bahwa mendayung perahu sudah menjadi aktivitas harian masyarakat. Karena itu, tidak heran apabila pendayung tradisional muncul dari kampung-kampung tepian sungai.
“Saya inginnya tradisi bidar tetap bisa diteruskan ke depannya,” kata dia dibincangi saat menonton lomba perahu di tepi kampung 32 Ilir, Minggu (17/08/2025).
Potensi pendayung yang ada tersebut, menurut Soleh sebaiknya dibarengi dengan adanya perahu untuk berlatih mendayung bidar. Karena itu, dia menyarankan Palembang perlu bekerja sama dengan wilayah kabupaten/kota lain di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki hutan dengan batang pohon yang banyak. “Tidak bisa dari rakyat sendiri yang mengusahakan,” tegas Soleh.
Menguatkan Nilai Gotong-Royong
Festival Perahu Bidar Tradisional 2025 menjadi puncak perayaan kemerdekaan RI ke-80 di Palembang, Minggu (17/08/2025). Seperti lomba bidar pada tahun-tahun sebelumnya, event yang paling ditunggu ini ramai dikunjungi dan menjadi ajang hiburan rakyat.
Pemkot Palembang selaku penyelenggara festival bahkan memanjakan masyarakat dengan banyak hiburan di BKB sejak tanggal 15 Agustus 2025, mulai dari panggung musik yang menghadirkan musisi papan atas Indonesia, tenant kuliner, aktivitas seru, hingga arena edukasi budaya.
Di arena edukasi budaya dipamerkan replika perahu bidar tradisional. Masyarakat diperkenalkan pada ukuran panjang serta desain perahunya yang ramping, yang memudahkan laju perahu saat dilombakan. Replika itu disiapkan oleh Komunitas Bidar Tradisional Palembang yang digawangi Jaka. Pembuatannya dikerjakan langsung di BKB beberapa hari sebelum festival dibuka, tepatnya sejak Selasa (12/08/2025).
Jaka menekankan, perahu bidar tradisional yang dipamerkan tersebut tentu berbeda dengan perahu aslinya. Sebab, bahan replika tidak memakai kayu merawan, balem, rengas, ataupun bungur.
Dalam kesempatan yang berbeda, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VI Provinsi Sumatera Selatan, Kristanto Januardi mengatakan, penyelenggaraan Festival Perahu Bidar Tradisional ini membawa pesan nilai kegotong-royongan. Masyarakat perlu mengetahui ada nilai kebersamaan dalam membuat sebuah karya yang berukuran besar seperti perahu bidar tradisional. Dalam perlombaannya bahkan diperlukan semangat luar biasa dengan melibatkan banyak orang.
“Ini menunjukkan bahwa ada pengetahuan tradisional yang berasal dari orang terdahulu yang bisa sampai ke kita hari ini, karena memang masih dijalankan pembuatan perahu bidar tradisional dan lombanya. Nilai-nilai semacam ini yang harus terus digalakkan dan ditanamkan ke generasi penerus,” jelas Kristanto dalam podcast yang dilaksanakan di lokasi festival, Minggu (17/08/2025).
BPK Wilayah VI turut mendukung kemeriahan festival dengan pemutaran film dokumenter bidar, menggelar focus group discussion (FGD) bersama para budayawan, dan workshop bidar selama Festival Perahu Bidar Tradional 2025 berlangsung.
Kasub Bagian Umum BPK Wilayah VI, Iwan menambahkan, festival yang digelar ini salah satu cara untuk pelestarian tradisi perahu bidar tradisional, yakni dari sisi adat istiadat, ritus, dan perayaan. Mengingat, perahu bidar sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2016.
Khusus dari sisi adat istiadat, jelasnya, tradisi perahu bidar memberikan pengetahuan tentang memelihara lingkungan yakni bagaimana menjaga pohon sebagai bahan baku perahu. Butuh puluhan tahun untuk mendapatkan pohon yang kuat dan panjang, karena itu lingkungan harus dijaga agar perahu bidar bisa kokoh nantinya.
“Perahu bidar tradisional sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Bukan wujud fisiknya yang dinilai menjadi warisan, karena perahu terus berganti dimana perahu-perahu awal dipastikan sudah rusak atau hancur, tapi konsep tradisi perahunya yang menjadi warisan. Penetapannya salah satunya dari nilai adat istiadat,” terang dia saat podcast BPK Wilayah VI di kawasan BKB.
Jangan Sampai Hilang
Wali Kota Palembang Ratu Dewa menyampaikan, pelaksanaan festival ini sudah sangat identik ketika momen hari kemerdekaan RI. Dia mengamini bahwa lomba perahu bidar menjadi simbol kekompakan dan gotong-royong. Untuk mencapai garis finish diperlukan kerja sama yang baik antar seluruh anggota tim. Hal itu ditafsirkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Palembang yang selalu bergotong-royong dan sesuai dengan semangat kemerdekaan.
Terkait pelestarian tradisi, Ratu Dewa memastikan, generasi pembuat perahu bidar tradisional jangan sampai hilang. Diakuinya, perahu bidar di Palembang sudah langka dan tersisa satu generasi penerus saja. Karena itu, dia menyambut baik rekomendasi dari hasil FGD untuk digelarnya workshop perahu bidar sebagai bentuk regenerasi.
“Jangan sampai hilang, karena itu generasi muda akan diberi pelatihan teknis pembuatan perahu bidar tradisional,” ujarnya saat ditemui para jurnalis peserta Indonesia Media Program yang diselenggarakan ABC International Development, Jumat (15/08/2025).
Adapun persoalan bahan baku, Ratu Dewa juga mengakui sudah sulit mendapatkan kayu panjang berkualitas bagus untuk perahu bidar seperti kayu merawan. Dibutuhkan satu pohon utuh untuk satu perahu. “Ini menjadi tantangan dan PR bagi Palembang,” ucap dia.
Untuk itu, melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Pemkot Palembang segera melakukan MoU dan kerja sama dengan kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang mempunyai potensi hutan dengan pohon-pohon yang dibutuhkan sebagai bahan baku bidar.
“Kabupaten Musi Banyuasin saya kira masih cukup banyak potensinya, begitu juga di Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir. Tadi saya sudah minta kepala dinas untuk menjajaki kerja sama menyangkut bahan baku bidar,” ungkapnya. (yulia savitri)
sebulan yang lalu