Pelanggaran Ambang Batas Pemanasan Global 1,5°C pada tahun 2024, simak Reaksi 350.org Asia

Rabu, 15 Januari 2025 08:15 WIB

Penulis:Nila Ertina

Ilustrasi Pemanasan Global
Ilustrasi Pemanasan Global (Canva/Nila Ertina FM)

PALEMBANG, WongKito.co - Suhu global rata-rata melampaui tingkat pra-industri sebesar 1,55°C pada tahun 2024, demikian diungkapkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Dengan  kondisi tersebut, telah terkonfirmasi tahun 2024 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat. Itu adalah tahun kalender pertama di mana suhu rata-rata melampaui target Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C.

Menanggapi pelanggaran ambang batas tersebut, Direktur Regional Asia 350.org, Norly Mercado mengatakan dampak iklim yang mematikan yang dirasakan di seluruh Asia selama suhu yang memecahkan rekor tahun lalu membuktikan bahwa setiap fraksi derajat dalam pemanasan global itu penting.

"Jutaan kehidupan terganggu karena penutupan sekolah yang terkait dengan iklim, hilangnya mata pencaharian, cedera, dan kematian," kata dia, dalam siaran pers yang diterima, Selasa (14/1/2025).

Baca Juga:

Namun, ia mengungkapkan pemerintah masih belum berbuat cukup banyak untuk mengakhiri bahan bakar fosil dan menggantinya dengan energi terbarukan yang dipimpin masyarakat.

"Sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa rencana iklim negara mereka (Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau NDC), yang akan jatuh tempo pada bulan Februari ini, mencakup rencana konkret dan ambisius untuk menghentikan bahan bakar fosil dan beralih secara adil ke energi terbarukan," ujar dia.

Dia menjelaskan banyak negara Asia, seperti Jepang, India, india, dan Tiongkok telah mencatat tahun 2024 sebagai tahun terpanas mereka.

Bencana iklim dan dampak iklim lainnya juga sangat terasa di seluruh wilayah tahun lalu, misalnya lebih dari 800 orang meninggal di Asia Tenggara akibat Topan Yagi, gelombang panas ekstrem di Asia Selatan dan Asia Tenggara, banjir besar di Tiongkok, dan rekor tanpa salju terpanjang di Gunung Fuji di Jepang.

Menurut Nordy, pelanggaran 1,5°C menunjukkan bahwa transisi yang adil di Asia tidak dapat ditunda lagi.

Pemerintah harus membuat skala prioritas agar benar-benar adil, dengan menjadikan masyarakat paling rentan sebagai pusat kebijakan dan pengambilan keputusan iklim, bukan industri pencemar yang sama yang telah membawa kita pada pelanggaran bencana ini, tambah dia.

Baca Juga:

Sementara Juru Kampanye Regional Asia 350.org, Chuck Baclagon mengatakan saat ini banyak komunitas yang terdampak iklim telah menunjukkan bagaimana menolak bahan bakar fosil dan merangkul energi terbarukan dapat meningkatkan kehidupan mereka dan membuat mereka lebih tangguh menghadapi dampak iklim yang semakin buruk.

"Energi terbarukan yang dipimpin masyarakat memberikan model yang penuh harapan tentang seperti apa masa depan Asia," kata dia.

Selama pemerintah Asia mengandalkan industri fosil dan perusahaan besar lainnya untuk solusi iklim, ia memastikan dorongan untuk mendapatkan keuntungan akan lebih diutamakan daripada kepentingan planet dan masyarakat.

"Kami meminta para pembuat kebijakan harus segera mengikuti arahan masyarakat dan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang dipimpin masyarakat–atau kita akan terus melanggar batas 1,5°C dengan konsekuensi yang membawa bencana, terutama bagi masyarakat Asia yang paling rentan," ujar dia.(ril)